"Cheers," kata Agnes sambil mengangkat cangkirnya.
"Cheers," sahut Fajar, daya saingnya melunak dalam ritual persahabatan ini.
"Cheers," ulang Aditya, dan mereka minum.
Rasanya sungguh luar biasa---kaya, berani, dengan sedikit sentuhan liar dan liar. Seolah-olah kopi itu sendiri menceritakan kisah tentang negeri yang jauh dan tangan-tangan yang memeliharanya dari bumi hingga ke cangkir.
"Menakjubkan," gumam Aditya, kata-katanya nyaris tidak terdengar seperti bisikan.
"Hasil karyamu," kata Agnes, dengan bangga mengucapkan kata-katanya.
Upaya tim, tambah Fajar sambil menepuk bahu Aditya dengan kuat.
Dengan setiap teknik baru yang mereka coba, sore hari semakin memudar, perlahan-lahan memasuki malam hari. Mereka menertawakan upaya yang gagal, mengagumi ramuan yang berhasil, dan melalui semua itu, Aditya merasakan perluasan batin. Setiap tawa, setiap tegukan, setiap wawasan yang dibagikan adalah lapisan yang terkupas, mengungkapkan bagian dari dirinya yang belum dia ketahui keberadaannya.
Aditya menyadari bahwa kehangatan yang mengisi dirinya bukan hanya dari kopinya saja---tetapi adalah pancaran persahabatan, panasnya tantangan yang dihadapi, dan potensi yang membara dari apa yang ada di depan.
Matahari terbenam di bawah cakrawala, mewarnai langit dengan guratan jingga dan ungu saat Aditya, Agnes, dan Fajar keluar dari kedai kopi. Udaranya sejuk, membawa janji malam saat mereka berjalan menyusuri jalan berbatu yang dipenuhi galeri dan butik.
"Aditya," kata Agnes, suaranya bagaikan melodi yang menari tertiup angin senja, "ada galeri seni di dekat sini. Galeri itu menampilkan karya-karya kontemporer. Saya rasa Anda akan menghargai kedalamannya."