"Omong-omong soal ritual," kata Agnes, mengubah pendiriannya dengan semangat main-main, "ada sebuah kafe tidak jauh dari sini yang menyelenggarakan malam musik live. Tempat di mana kopi dan kreativitas saling terkait. Aku menuju ke sana bersama beberapa teman malam ini. Maukah Anda bergabung dengan kami? Ini menjanjikan malam yang penuh dengan melodi yang penuh semangat dan perpaduan aromatik."
Aditya ragu-ragu, rasa takut menjalar di nadinya. Kecenderungannya terhadap kesendirian bertentangan dengan iming-iming pengalaman baru yang dipersonifikasikan Agnes. Bisakah dia berani menjauh dari rutinitasnya, tempat introspeksi yang aman?
"Musik live, katamu?" Aditya merenung keras-keras, gagasan itu bergejolak seperti minuman kaya dalam benaknya. "Saya kira itu bisa jadi... mencerahkan."
"Benar-benar mencerahkan," Agnes menyetujui, seringainya menular. "Dan siapa yang tahu? Anda mungkin menemukan rasa kopi baru yang sesuai dengan jiwa Anda."
"Atau melodi yang cocok," Aditya mengakui, sudut mulutnya melengkung ke atas dalam senyuman yang dia sediakan untuk momen-momen intrik yang tulus.
"Sempurna!" seru Agnes. "Mari kita melepaskan diri dari seni statis ini ke malam di mana seni menari dan bernyanyi."
Saat mereka keluar dari galeri bersama-sama, udara malam membelai indra Aditya dengan janji akan hal yang tidak diketahui. Kegembiraan bergejolak di dalam dadanya, bercampur dengan jejak ketakutan yang paling samar. Malam ini, di bawah bimbingan Agnes yang penuh teka-teki, dia akan melintasi wilayah yang belum dipetakan --- baik di dunia kenikmatan indera maupun di dalam labirin hatinya yang dijaga sendiri.
Suasana kafe ini bagaikan permadani yang ditenun dengan benang-benang eklektik: petikan lembut gitar akustik, gumaman percakapan, dan suara mesin espresso yang mendesis bagaikan ular yang lembut. Aditya duduk di sudut yang remang-remang, udara memadukan aroma kacang panggang dan hangatnya kehadiran manusia. Hatinya mencari penghiburan dalam warna musik live yang akrab namun jauh.
"Aditya, kan?" Suara itu memotong renungannya dengan ketajaman yang tampak bertentangan dengan suasana lembut.
Ia mendongak dan menemukan Fajar Kusuma berdiri di hadapannya, tubuh atletis rekan kerjanya menghalangi pancaran cahaya lampu gantung, menimbulkan bayangan yang terasa seperti gerhana di hari yang cerah.
"Fajar," Aditya mengakui, merasakan kenyamanan kesendirian menghilang. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."