"Hidup adalah seni, dan kita semua melukiskan cerita kita," kata Agnes, matanya memantulkan sinar matahari terakhir.
Fajar, sambil merentangkan kakinya di rerumputan di samping mereka, menimpali sambil terkekeh, "Dan sebagian dari kita lebih kompetitif dalam hal ini dibandingkan yang lain."
"Persaingan mendorong kami untuk unggul," jawab Aditya, terlibat dalam olok-olok ramah yang sudah akrab sepanjang hari.
Benar, Fajar mengangguk. "Tetapi ini juga tentang perjalanannya, bukan? Jalan yang kita pilih, orang-orang yang kita temui."
"Seperti hari ini," sela Agnes, tatapannya terhubung dengan kedua pria itu. "Siapa yang tahu kita akan berakhir di sini, berbagi mimpi tentang keju dan zaitun?"
"Ngomong-ngomong soal mimpi," Aditya memulai, merasakan gelombang kepercayaan diri, "Aku selalu ingin membuka kedai kopiku sendiri. Tempat yang lebih dari sekadar espresso dan latte---"
"Surga bagi indera," Agnes menyelesaikan kalimatnya, semangatnya menyulut percikan di dada Aditya.
"Tepat sekali," dia tersenyum, merasa diperhatikan. "Ruang di mana setiap cangkir menceritakan sebuah kisah."
"Hitung aku untuk pembukaannya," kata Fajar sambil mengangkat gelas imajiner. "Untuk usaha baru!"
"Untuk persahabatan," tambah Agnes, suaranya sungguh-sungguh.
"Dan hari-hari tak terduga yang mengubah segalanya," pungkas Aditya, ketiganya mendentingkan botol air sambil bersulang.