BAB 6 : TANTANGAN PERTAMA
Ruangan itu dipenuhi dengungan selusin percakapan, tapi satu sosok berhasil memecah kebisingan, seperti sebuah kapal yang membelah lautan obrolan. Dinda Pramesti sangat kontras dengan suasana kafe kuno yang bernuansa lembut, tempat Raden Aditya Wirawan menemukan hiburan. Rambut pendek keritingnya membingkai wajahnya dengan kesan berani, dan saat dia mendekati Aditya, setiap langkahnya bergema dengan kehadiran berwibawa yang sepertinya menuntut perhatian tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Adit," suara Dinda tajam namun penuh kasih sayang, "kamu selalu di sini, tenggelam dalam pikiranmu dan secangkir kopi itu."
Aditya mendongak dari latte-nya, karya seni berbusanya masih utuh, tak tersentuh. Dia memperhatikan saat dia mengamati kafe itu dengan sudut pandang seorang pengusaha yang sedang menilai sebuah investasi potensial---pandangan yang tidak melewatkan apa pun, yang penuh perhitungan dan prediksi.
"Kopi ini bukan sekedar kopi, Din," jawabnya mencoba menyampaikan kedalaman renungannya, "Lebih dari itu."
"Semua orang bisa membuat kopi, Adit," balasnya sambil berkacak pinggang. Jam tangan emas di pergelangan tangannya terlihat menonjol---simbol keberhasilannya, hadiah atas kemenangan terakhirnya di ruang rapat, tempat dia menjadi perantara kesepakatan yang oleh sebagian besar orang dianggap mustahil.
"Kamu harus lebih dari itu," lanjutnya, matanya menatap tajam ke dalam mata pria itu. "Kamu harus berusaha lebih keras lagi."
Aditya mengawasinya, memperhatikan sedikit kedutan ketidaksabaran di jari-jarinya, cara dia menghentakkan kakinya---sebuah metronom yang berdetak di detik-detik yang dia yakini terbuang sia-sia karena merenung. Dia memancarkan ambisi, setiap gerakannya mengandung tujuan, dengan dorongan pantang menyerah yang telah melambungkannya ke puncak bidangnya.
Dia tahu pencapaiannya bukan hanya untuk pertunjukan; itu adalah tonggak sejarah dalam perjalanan yang dia lalui dengan tekad yang tiada henti. Namun, dia merenung, apakah dia pernah berhenti sejenak untuk menikmati perjalanan?
"Bagaimana jika 'lebih dari itu' berarti memahami arti dari semua ini?" Aditya memberanikan diri, menunjuk ke dunia di luar jendela kafe.