"Arti hidup?" Dinda mendengus, matanya sekilas melirik ke jendela tempat detak jantung kota berdebar kencang tanpa henti. "Kita menciptakan arti itu melalui kesuksesan dan pengaruh."
Aditya menghela nafas, merasakan beratnya kata-katanya. Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa pencariannya bukanlah untuk melarikan diri tetapi untuk pengayaan? "Aku tidak menolak kesuksesan, Kak. Tapi bagi ku, ada lebih banyak dari sekedar pencapaian."
"Lebih banyak seperti apa, Adit? Kamu membuang-buang waktu dengan angan-angan sementara aku... kita..." Nada memerintah Dinda terputus-putus, menunjukkan sedikit kerentanan. "Kita harus bergerak maju."
"Bergerak maju tidak berarti meninggalkan diri kita sendiri di belakang," gumamnya sambil menyaksikan seorang barista menuangkan kreasi baru, aroma kaya biji kopi memenuhi udara.
"Kamu pikir aku telah meninggalkan diriku?" Pertanyaannya tertahan di antara mereka, tajam dan tak terduga.
"Apakah kamu pernah bertanya pada dirimu sendiri?" Aditya membalas, mengunci pandangannya, masing-masing saudara mengakar pada keyakinannya masing-masing.
Dinda mengerjapkan mata, terkejut, dan sesaat, suasana kafe menyelimuti mereka, menawarkan ketenangan diam dari baku tembak kata-kata mereka. Dia membuang muka terlebih dahulu, memeriksa jam tangan pintarnya, tubuhnya menegang seolah bersiap untuk terjun ke dunianya sekali lagi.
"Kita tidak akan menyelesaikan hari ini," katanya, berdiri dengan anggun yang menarik perhatian bahkan saat berangkat.
"Sepertinya tidak," Aditya mengakui, uap dari cangkir kopinya membelai pipinya saat dia melihatnya melangkah pergi---seorang wanita yang penuh aksi dan ambisi, meninggalkannya untuk merenungkan kedalaman kehidupan yang tak terukur.
Tatapan Aditya tertuju pada tempat Dinda berdiri beberapa saat sebelumnya, siluetnya merupakan bukti tekad pantang menyerah yang telah mengantarkannya ke puncak tangga perusahaan. Kafe di sekelilingnya tampak berkontraksi dan mengembang seiring dengan setiap tarikan napasnya---manifestasi fisik dari ketegangan yang masih berderak di udara seperti listrik statis.
"Kak, kamu tidak mengerti," suara Aditya memecah gumaman kafe, sangat kontras dengan irama bicara Dinda yang terkendali.