"Pemahaman itu baik-baik saja, tapi itu tidak akan membayar tagihan atau membangun kerajaanmu," jawab Dinda ketus. Tatapannya melembut sesaat saat dia melihat ke arah kakaknya. Bagaimanapun juga, dia protektif, meskipun penampilan luarnya kasar. "Saya hanya tidak ingin Anda melewatkan apa yang bisa Anda capai."
"Mungkin prestasi tidak selalu bisa diukur," gumam Aditya dalam hati sambil memutar-mutar sisa kopinya, menyaksikan pusaran air yang bergejolak menirukan gejolak dalam dirinya. Dia mencari makna, sementara dia mencari tonggak sejarah.
Ponsel Dinda berbunyi dan dia melirik ke layar---pengingat akan pertemuan lagi, kesepakatan lain, langkah lain menuju penaklukan berikutnya.
"Pikirkanlah, Adit," katanya, menawarkan senyum lembut yang langka sebelum kembali ke kesibukannya, meninggalkan Aditya dengan pikirannya dan seteguk latte suam-suam kuku terakhirnya.
Jari-jari Aditya menelusuri pinggiran cangkir kopinya, keramiknya terasa dingin di kulitnya---sangat kontras dengan perdebatan sengit yang akan ia lakukan. Kafe itu bersenandung dengan simfoni tenang dari dentingan cangkir dan obrolan pelan, latar belakang menenangkan dari badai yang terjadi di mejanya.
"Bagaimana kamu bisa begitu puas hanya dengan berpikir dan merenung?" Suara Dinda membelah ketenangan, sambil mencondongkan tubuh ke seberang meja, matanya menatap tajam ke arah Aditya dengan campuran rasa frustasi dan kekhawatiran.
"Karena itu memberikan ketenangan yang tidak kau temukan di papan skor prestasi," jawab Aditya, tatapannya tak lepas dari pusaran gelap kopinya.
"Damai? Kedamaian tidak akan memberikan masa depan, Adit." Dinda mengetukkan kuku jarinya ke meja, suaranya tajam dan tegas. "Aku menghargai kedalaman pemikiranmu, tapi momen untuk menyelaraskannya dengan kenyataan."
"Apakah realita harus selalu tentang kemajuan karir?" Aditya bertanya sambil mengangkat matanya untuk menatap matanya. Hatinya berdebar-debar dengan permohonan diam-diam untuk pengertian, berjuang melawan gelombang pragmatismenya.
"Ya, karena itulah dunia kita sekarang," tegasnya sambil duduk bersandar di kursinya, postur tubuhnya tegak seolah siap bertempur. Rambut ikal pendeknya membingkai wajahnya, menonjolkan tekad baja yang terukir di wajahnya.
"Dan apa artinya dunia jika di dalamnya kita kehilangan makna hidup?" Dia bisa merasakan jurang yang semakin lebar di antara mereka, garis keturunan mereka yang sama semakin tipis karena perbedaan filosofi.