"Kau akan terus memutar dalam lingkaranmu sendiri, Adit. Tanpa hasil nyata!" Suaranya meninggi, dengan nada jengkel, namun pendiriannya tetap tegar, seolah berlabuh pada keyakinannya.
Aditya membalas tatapannya, sebuah penolakan diam-diam muncul di dalam dirinya. "Hasil yang nyata bagi siapa, Kak? Bagi dunia, atau bagi diriku sendiri?" Ibu jarinya menyentuh hangatnya cangkir, rasa panas meresap ke dalam kulitnya, sangat kontras dengan dinginnya pembicaraan mereka.
"Bagi keduanya!" dia membalas, jarinya menunjuk ke arahnya dengan tegas, lalu menyapu ke arah jendela menuju kota yang ramai di luarnya. "Kau tidak bisa memisahkanmu dari kenyataan. Ambisi dan pencapaian itu esensial, Adit!"
Menghirup dalam-dalam, Aditya membiarkan aroma kopinya memenuhi indranya, aroma familiar memberinya kelonggaran sejenak. Dia berdiri perlahan, merasakan beban ekspektasi adiknya menekannya seperti kekuatan fisik. Namun, ada daya apung dalam dirinya, arus bawah yang menariknya menuju cakrawala yang hanya bisa dilihatnya.
"Kak," katanya sambil menatap mata Dinda tepat, tekadnya mengkristal. "Aku mungkin tidak memahami semuanya saat ini. Tapi aku percaya jalan yang sedang kulalui ini akan membawaku pada kesuksesan yang sesungguhnya. Kesuksesan yang tak hanya diukur dengan angka, tapi juga kepuasan batin."
"Adit..." Dinda terdiam sejenak, ekspresinya melembut saat melangkah maju, jarak di antara mereka semakin dekat hanya beberapa senti.
"Kau mungkin tidak setuju," lanjut Aditya, suaranya semakin kuat, "tapi inilah aku, Kak. Aku harus mencari tahu sendiri apa artinya hidup ini untukku."
Bibirnya membentuk garis tipis, otot-otot di rahangnya bekerja tanpa suara. Dia mengulurkan tangan, tangannya melayang sedikit di bahu pria itu sebelum dia menariknya kembali, naluri keibuannya tertahan oleh rasa hormat terhadap pilihan pria itu.
"Baiklah," dia mengakui, meskipun posturnya menunjukkan banyak keraguannya. "Tapi ingat, Adit, aku selalu ada untukmu. Apapun yang terjadi."
Aditya mengangguk, sebuah janji diam-diam terukir dalam tatapannya yang penuh tekad. Saat Dinda berbalik, siluetnya semakin menjauh, ia merasakan jurang pemisah di antara mereka merenggang, jurang yang penuh cinta dan perselisihan. Namun, terlepas dari ketidakpastian yang menghadang, dia tetap berpegang pada keyakinannya, sebuah mercusuar yang membimbingnya melewati kabut tuntutan hidup yang tiada henti.
Keheningan yang mengikuti konsesi Dinda bagaikan ruang hampa, dingin dan luas. Aditya bisa merasakan beban tatapannya, penuh dengan pikiran yang tak terucapkan, saat dia berhenti di ambang pintu apartemennya. Dia tahu percakapan itu masih jauh dari selesai, namun kata-kata sepertinya tidak berguna lagi sekarang; pertukaran mereka menemui jalan buntu, sebuah planet tertahan di antara tarikan gravitasi dua matahari yang berlawanan.