Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Belajar dari Nikmantnya Secangkir Kopi #6

15 Januari 2024   10:04 Diperbarui: 15 Januari 2024   10:43 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAB 6 : TANTANGAN PERTAMA

Ruangan itu dipenuhi dengungan selusin percakapan, tapi satu sosok berhasil memecah kebisingan, seperti sebuah kapal yang membelah lautan obrolan. Dinda Pramesti sangat kontras dengan suasana kafe kuno yang bernuansa lembut, tempat Raden Aditya Wirawan menemukan hiburan. Rambut pendek keritingnya membingkai wajahnya dengan kesan berani, dan saat dia mendekati Aditya, setiap langkahnya bergema dengan kehadiran berwibawa yang sepertinya menuntut perhatian tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Adit," suara Dinda tajam namun penuh kasih sayang, "kamu selalu di sini, tenggelam dalam pikiranmu dan secangkir kopi itu."

Aditya mendongak dari latte-nya, karya seni berbusanya masih utuh, tak tersentuh. Dia memperhatikan saat dia mengamati kafe itu dengan sudut pandang seorang pengusaha yang sedang menilai sebuah investasi potensial---pandangan yang tidak melewatkan apa pun, yang penuh perhitungan dan prediksi.

"Kopi ini bukan sekedar kopi, Din," jawabnya mencoba menyampaikan kedalaman renungannya, "Lebih dari itu."

"Semua orang bisa membuat kopi, Adit," balasnya sambil berkacak pinggang. Jam tangan emas di pergelangan tangannya terlihat menonjol---simbol keberhasilannya, hadiah atas kemenangan terakhirnya di ruang rapat, tempat dia menjadi perantara kesepakatan yang oleh sebagian besar orang dianggap mustahil.

"Kamu harus lebih dari itu," lanjutnya, matanya menatap tajam ke dalam mata pria itu. "Kamu harus berusaha lebih keras lagi."

Aditya mengawasinya, memperhatikan sedikit kedutan ketidaksabaran di jari-jarinya, cara dia menghentakkan kakinya---sebuah metronom yang berdetak di detik-detik yang dia yakini terbuang sia-sia karena merenung. Dia memancarkan ambisi, setiap gerakannya mengandung tujuan, dengan dorongan pantang menyerah yang telah melambungkannya ke puncak bidangnya.

Dia tahu pencapaiannya bukan hanya untuk pertunjukan; itu adalah tonggak sejarah dalam perjalanan yang dia lalui dengan tekad yang tiada henti. Namun, dia merenung, apakah dia pernah berhenti sejenak untuk menikmati perjalanan?

"Bagaimana jika 'lebih dari itu' berarti memahami arti dari semua ini?" Aditya memberanikan diri, menunjuk ke dunia di luar jendela kafe.

"Pemahaman itu baik-baik saja, tapi itu tidak akan membayar tagihan atau membangun kerajaanmu," jawab Dinda ketus. Tatapannya melembut sesaat saat dia melihat ke arah kakaknya. Bagaimanapun juga, dia protektif, meskipun penampilan luarnya kasar. "Saya hanya tidak ingin Anda melewatkan apa yang bisa Anda capai."

"Mungkin prestasi tidak selalu bisa diukur," gumam Aditya dalam hati sambil memutar-mutar sisa kopinya, menyaksikan pusaran air yang bergejolak menirukan gejolak dalam dirinya. Dia mencari makna, sementara dia mencari tonggak sejarah.

Ponsel Dinda berbunyi dan dia melirik ke layar---pengingat akan pertemuan lagi, kesepakatan lain, langkah lain menuju penaklukan berikutnya.

"Pikirkanlah, Adit," katanya, menawarkan senyum lembut yang langka sebelum kembali ke kesibukannya, meninggalkan Aditya dengan pikirannya dan seteguk latte suam-suam kuku terakhirnya.

Jari-jari Aditya menelusuri pinggiran cangkir kopinya, keramiknya terasa dingin di kulitnya---sangat kontras dengan perdebatan sengit yang akan ia lakukan. Kafe itu bersenandung dengan simfoni tenang dari dentingan cangkir dan obrolan pelan, latar belakang menenangkan dari badai yang terjadi di mejanya.

"Bagaimana kamu bisa begitu puas hanya dengan berpikir dan merenung?" Suara Dinda membelah ketenangan, sambil mencondongkan tubuh ke seberang meja, matanya menatap tajam ke arah Aditya dengan campuran rasa frustasi dan kekhawatiran.

"Karena itu memberikan ketenangan yang tidak kau temukan di papan skor prestasi," jawab Aditya, tatapannya tak lepas dari pusaran gelap kopinya.

"Damai? Kedamaian tidak akan memberikan masa depan, Adit." Dinda mengetukkan kuku jarinya ke meja, suaranya tajam dan tegas. "Aku menghargai kedalaman pemikiranmu, tapi momen untuk menyelaraskannya dengan kenyataan."

"Apakah realita harus selalu tentang kemajuan karir?" Aditya bertanya sambil mengangkat matanya untuk menatap matanya. Hatinya berdebar-debar dengan permohonan diam-diam untuk pengertian, berjuang melawan gelombang pragmatismenya.

"Ya, karena itulah dunia kita sekarang," tegasnya sambil duduk bersandar di kursinya, postur tubuhnya tegak seolah siap bertempur. Rambut ikal pendeknya membingkai wajahnya, menonjolkan tekad baja yang terukir di wajahnya.

"Dan apa artinya dunia jika di dalamnya kita kehilangan makna hidup?" Dia bisa merasakan jurang yang semakin lebar di antara mereka, garis keturunan mereka yang sama semakin tipis karena perbedaan filosofi.

"Arti hidup?" Dinda mendengus, matanya sekilas melirik ke jendela tempat detak jantung kota berdebar kencang tanpa henti. "Kita menciptakan arti itu melalui kesuksesan dan pengaruh."

Aditya menghela nafas, merasakan beratnya kata-katanya. Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa pencariannya bukanlah untuk melarikan diri tetapi untuk pengayaan? "Aku tidak menolak kesuksesan, Kak. Tapi bagi ku, ada lebih banyak dari sekedar pencapaian."

"Lebih banyak seperti apa, Adit? Kamu membuang-buang waktu dengan angan-angan sementara aku... kita..." Nada memerintah Dinda terputus-putus, menunjukkan sedikit kerentanan. "Kita harus bergerak maju."

"Bergerak maju tidak berarti meninggalkan diri kita sendiri di belakang," gumamnya sambil menyaksikan seorang barista menuangkan kreasi baru, aroma kaya biji kopi memenuhi udara.

"Kamu pikir aku telah meninggalkan diriku?" Pertanyaannya tertahan di antara mereka, tajam dan tak terduga.

"Apakah kamu pernah bertanya pada dirimu sendiri?" Aditya membalas, mengunci pandangannya, masing-masing saudara mengakar pada keyakinannya masing-masing.

Dinda mengerjapkan mata, terkejut, dan sesaat, suasana kafe menyelimuti mereka, menawarkan ketenangan diam dari baku tembak kata-kata mereka. Dia membuang muka terlebih dahulu, memeriksa jam tangan pintarnya, tubuhnya menegang seolah bersiap untuk terjun ke dunianya sekali lagi.

"Kita tidak akan menyelesaikan hari ini," katanya, berdiri dengan anggun yang menarik perhatian bahkan saat berangkat.

"Sepertinya tidak," Aditya mengakui, uap dari cangkir kopinya membelai pipinya saat dia melihatnya melangkah pergi---seorang wanita yang penuh aksi dan ambisi, meninggalkannya untuk merenungkan kedalaman kehidupan yang tak terukur.

Tatapan Aditya tertuju pada tempat Dinda berdiri beberapa saat sebelumnya, siluetnya merupakan bukti tekad pantang menyerah yang telah mengantarkannya ke puncak tangga perusahaan. Kafe di sekelilingnya tampak berkontraksi dan mengembang seiring dengan setiap tarikan napasnya---manifestasi fisik dari ketegangan yang masih berderak di udara seperti listrik statis.

"Kak, kamu tidak mengerti," suara Aditya memecah gumaman kafe, sangat kontras dengan irama bicara Dinda yang terkendali.

"Dan kamu pikir aku tidak berusaha? Kamu pikir semuanya ini," dia memberi isyarat lebar, meliputi dunia di luar gelembung mereka, "datang tanpa pengorbanan?"

Intensitas pertengkaran terlihat jelas, arus emosional yang mengalir di antara mereka melonjak dan menurun seiring dengan setiap kalimat yang diucapkan. Sorot mata Dinda yang tadinya dipenuhi kekhawatiran bak adik, kini menajam bagaikan baja, menantangnya di setiap kesempatan. Aditya, yang posturnya biasanya melengkung ke dalam saat refleksi, berdiri tegak melawan rentetan serangan, tangannya terkepal di sisi tubuhnya.

"Kamu terlalu tenggelam dalam memikirkanmu sendiri, Adit. Dunia tidak menunggu kita untuk siap," dorong Dinda, kata-katanya bagai anak panah yang ditujukan untuk menembus pelindung idealismenya.

"Dan apa artinya bergerak maju jika kita tidak memahami suasananya?" dia membalas, rasa frustrasi mewarnai nadanya. Jantungnya berdebar kencang di tulang rusuknya, mencerminkan irama staccato mesin espresso saat mesin itu mengeluarkan pesanan lainnya.

"Memmahami arah? Kamu baru saja menghabiskan setahun merenungkan tanpa hasil yang jelas!" Tangan Dinda terangkat gemas, seikat rambut keritingnya lepas dari kungkungannya.

"Setiap orang memiliki jalannya masing-masing, Kak." Suara Aditya menjadi berbisik, matanya menelusuri pusaran uap rumit yang mengepul dari cangkir di dekatnya.

"Jangan gunakan kata-kata puitis untuk menghindari kenyataan, Adit!" Tuduhannya mengganggu suasana kafe yang nyaman, menyebabkan pengunjung di dekatnya melirik dari layar laptop mereka.

Aditya bergeser dengan tidak nyaman, konflik internalnya meluas. Ia memahami kekhawatiran Dinda; hal tersebut bukannya tidak berdasar. Namun jiwanya mendambakan sesuatu yang melampaui kesuksesan nyata yang sangat disayanginya.

"Kak, aku hanya mencoba..." Dia berusaha mencari kata yang tepat, namun kata-kata itu tersangkut di lidahnya, dibayangi oleh simfoni penggiling kopi dan susu yang berbusa.

"Kamu mencoba apa? Mencari alasan untuk lari dari tanggung jawab?" Dinda menyela, suaranya terdengar semakin keras di tengah alunan musik jazz lembut yang mengalun di atas kepala.

"Kadang lari bukan untuk menghindar, tapi untuk menemukan," gumam Aditya, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Aditya, tatapannya jauh, tenggelam dalam labirin pikirannya sendiri.

"Menemukan apa, Adit? Kejelasan? Pencerahan?" Sindiran Dinda menjadi nada pahit dalam perpaduan aroma dan suara yang tadinya harmonis.

"Ya, mungkin itu," akunya, penolakan berubah menjadi kerentanan. "Pencerahan tentang diri... tentang kita."

Mata mereka kembali bertatapan, seluruh kosmos yang tak terkatakan berputar-putar di antara mereka. Dalam tatapan Dinda terhampar badai ambisi dan cinta, badai tugas kekeluargaan dan hasrat pribadi. Dan dalam diri Aditya, permohonan diam-diam untuk pengertian bersinar melalui tabir kebingungan.

"Kita tidak akan pernah sepakat pada hal ini," dia akhirnya mengakui, suaranya melembut.

"Sepertinya begitu," ulangnya, dengungan kafe menyelimuti mereka berdua saat mereka berdiri di jurang perselisihan, tidak mau melompat atau mundur.

Seberkas sinar matahari menembus kanopi baja dan kaca Jakarta, menyinari keduanya di sudut kafe yang ramai. Dunia luar bergerak dalam ambisi yang tak henti-hentinya, mencerminkan fokus Dinda yang tak tergoyahkan. Rambut pendek keritingnya menangkap cahaya seperti mahkota perunggu melingkar, postur tubuhnya tegar seperti gedung pencakar langit yang membingkai cakrawala.

"Adit, kau tahu aku selalu mendukungmu, tapi ini..." dia memulai, menghembuskan napas tajam, sikap skeptisnya mengiris udara seperti pisau yang diasah dengan baik. "Kau tidak bisa mengukur pencapaian hanya dengan perasaan dan pemikiran. Kesuksesan itu nyata, terukur, dapat diraih."

Jemari Aditya menelusuri keramik hangat cangkir kopinya, uapnya mengepul bagai gumpalan keraguan yang menyelimuti pikirannya. Dia merasakan beban kepraktisan wanita itu menekannya, sangat kontras dengan mimpi-mimpi singkat yang dia simpan.

"Bagaimana jika sukses itu bukan hanya tentang apa yang kita capai, Kak? Tapi juga tentang memahami siapa kita?" Suaranya hanyalah sebuah bisikan, sebuah tandingan malu-malu terhadap kepastiannya.

"Memahami diri sendiri tidak akan memberikan promosi atau pengakuan." Dinda melipat tangannya, matanya tajam menilai. "Kau harus menetapkan tujuan yang jelas dan bekerja keras untuk itu."

Dia bisa melihat logika dalam kata-katanya, jalan jelas yang dia buat untuk dirinya sendiri dalam dunia bisnis. Namun, di dalam dirinya, ada kerinduan untuk menempuh jalan yang jarang dilalui, untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum dapat ia ungkapkan.

"Kadang tujuan yang paling penting sulit dijelaskan," renungnya dalam hati, pandangannya beralih ke jendela tempat kekacauan kota menjadi film bisu di balik kaca. "Mungkin ada lebih banyak cara untuk mendefinisikan kesuksesan daripada yang kukira..."

"Adit," Dinda membuyarkan lamunannya, nadanya tegas namun diwarnai kekhawatiran. "Jangan biarkan renunganmu membuatmu terjebak di dekatnya."

Hatinya berjuang melawan batasan harapan dan keinginan. Aditya tahu Dinda hanya menginginkan yang terbaik untuknya, tapi bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa yang terbaik mungkin tidak bisa ditemukan di spreadsheet dan angka penjualan?

"Kesuksesan tanpa pemahaman diri...apakah itu cukup berarti?" dia bertanya, lebih pada dirinya sendiri daripada pada wanita itu, merasakan tarik-menarik dalam dirinya semakin intensif.

"Tidak semua hal harus bermakna, Adit. Kadang-kadang, kita bertindak karena itu perlu dilakukan," balas Dinda, pandangan dunianya sekonkret trotoar di bawah kaki mereka.

Aditya menatap mata adiknya, mencari jembatan antara dunia mereka. Ada cinta di sana, bercampur dengan rasa realitas yang kuat. Dia menyesap kopinya, rasa pahit yang kaya entah bagaimana membumi, mengingatkannya pada perpaduan perspektif yang membuat hidup menjadi rumit dan menawan.

"Apakah aku bisa menemukan tempatku di dunia ini, satu yang memenuhi harapanku dan juga harapanmu, Kak?" dia merenung dalam diam, pertanyaannya tergantung pada keseimbangan, belum terjawab.

Jari-jari Aditya melingkar erat di sekeliling mug keramik, barikade melawan gelombang ketegangan yang bergulir dari Dinda. Dia berdiri dengan punggung tegak, bahu tegak seperti tiang marmer, bayangannya membentuk sosok panjang dan mengesankan di lantai yang dipoles. Tangannya terkepal di belakang punggungnya, seorang jenderal siap menyampaikan strateginya menuju kemenangan.

"Kau tahu, Adit," ia memulai, suaranya terdengar tajam dan tepat, "hidup tidak menunggu orang yang hanya duduk dan berpikir. Kita harus bertindak."

"Kadang kala," jawab Aditya, suaranya lembut namun tegas sambil menelusuri pinggiran mugnya, "bertindak tanpa pemahaman diri hanya akan membawa kita ke tempat yang sama sekali tidak kita inginkan."

Ruangan itu tampak mengecil seiring dengan setiap kata yang diucapkan, partikel-partikel ketidaksepakatan yang bermuatan berdengung di udara. Kaki Dinda menghentak-hentak tak sabar, denyut berirama menggema di jantung Aditya sendiri yang berdebar kencang. Matanya menyipit, bukan karena marah, tapi karena tidak mengerti.

"Kau akan terus memutar dalam lingkaranmu sendiri, Adit. Tanpa hasil nyata!" Suaranya meninggi, dengan nada jengkel, namun pendiriannya tetap tegar, seolah berlabuh pada keyakinannya.

Aditya membalas tatapannya, sebuah penolakan diam-diam muncul di dalam dirinya. "Hasil yang nyata bagi siapa, Kak? Bagi dunia, atau bagi diriku sendiri?" Ibu jarinya menyentuh hangatnya cangkir, rasa panas meresap ke dalam kulitnya, sangat kontras dengan dinginnya pembicaraan mereka.

"Bagi keduanya!" dia membalas, jarinya menunjuk ke arahnya dengan tegas, lalu menyapu ke arah jendela menuju kota yang ramai di luarnya. "Kau tidak bisa memisahkanmu dari kenyataan. Ambisi dan pencapaian itu esensial, Adit!"

Menghirup dalam-dalam, Aditya membiarkan aroma kopinya memenuhi indranya, aroma familiar memberinya kelonggaran sejenak. Dia berdiri perlahan, merasakan beban ekspektasi adiknya menekannya seperti kekuatan fisik. Namun, ada daya apung dalam dirinya, arus bawah yang menariknya menuju cakrawala yang hanya bisa dilihatnya.

"Kak," katanya sambil menatap mata Dinda tepat, tekadnya mengkristal. "Aku mungkin tidak memahami semuanya saat ini. Tapi aku percaya jalan yang sedang kulalui ini akan membawaku pada kesuksesan yang sesungguhnya. Kesuksesan yang tak hanya diukur dengan angka, tapi juga kepuasan batin."

"Adit..." Dinda terdiam sejenak, ekspresinya melembut saat melangkah maju, jarak di antara mereka semakin dekat hanya beberapa senti.

"Kau mungkin tidak setuju," lanjut Aditya, suaranya semakin kuat, "tapi inilah aku, Kak. Aku harus mencari tahu sendiri apa artinya hidup ini untukku."

Bibirnya membentuk garis tipis, otot-otot di rahangnya bekerja tanpa suara. Dia mengulurkan tangan, tangannya melayang sedikit di bahu pria itu sebelum dia menariknya kembali, naluri keibuannya tertahan oleh rasa hormat terhadap pilihan pria itu.

"Baiklah," dia mengakui, meskipun posturnya menunjukkan banyak keraguannya. "Tapi ingat, Adit, aku selalu ada untukmu. Apapun yang terjadi."

Aditya mengangguk, sebuah janji diam-diam terukir dalam tatapannya yang penuh tekad. Saat Dinda berbalik, siluetnya semakin menjauh, ia merasakan jurang pemisah di antara mereka merenggang, jurang yang penuh cinta dan perselisihan. Namun, terlepas dari ketidakpastian yang menghadang, dia tetap berpegang pada keyakinannya, sebuah mercusuar yang membimbingnya melewati kabut tuntutan hidup yang tiada henti.

Keheningan yang mengikuti konsesi Dinda bagaikan ruang hampa, dingin dan luas. Aditya bisa merasakan beban tatapannya, penuh dengan pikiran yang tak terucapkan, saat dia berhenti di ambang pintu apartemennya. Dia tahu percakapan itu masih jauh dari selesai, namun kata-kata sepertinya tidak berguna lagi sekarang; pertukaran mereka menemui jalan buntu, sebuah planet tertahan di antara tarikan gravitasi dua matahari yang berlawanan.

"Jadi, ini yang kau pilih," Dinda akhirnya memecah keheningan, suaranya bergema dengan nada pasrah.

"Iya, Kak." Penegasan Aditya berupa bisikan lembut namun pasti, bagaikan gemerisik dedaunan yang tertiup angin sepoi-sepoi. "Ini tentang menemukan nilai kehidupanku sendiri."

Profil Dinda memberikan bayangan mencolok terhadap cahaya steril yang memancar dari lorong, sosoknya merupakan monolit kekuatan dan ambisi. Dia menoleh setengah jalan, matanya mencerminkan galaksi emosi yang saling bertentangan, "Kau sadar, kan? Dunia tidak selalu memberikan kemewahan untuk memikirkannya."

"Memang," akunya, jemarinya menelusuri pinggiran keramik cangkir kopinya, aroma pahitnya naik bercampur dengan ketegangan di udara. "Tapi mungkin ada lebih banyak hal di dunia ini daripada yang bisa kita ukur."

"Adit..." Suaranya melemah, dan sesaat alam semesta seakan menahan napas. Jam di dinding terus berdetak tanpa henti menuju masa depan yang tidak pasti, detik-detik berlalu seperti pasir melalui jam pasir dari hubungan mereka yang tegang.

"Kak Dinda," Aditya memulai, tekadnya melawan simpul ketakutan yang semakin kuat dalam dirinya. Kakak perempuannya berdiri sebagai bukti atas segala hal yang dihargai masyarakat---kesuksesan, kekuasaan, kendali. Namun, di sinilah dia, berani memetakan arah melalui konsep pemenuhan dan tujuan yang samar-samar. "Aku berharap suatu hari nanti kau bisa mengerti."

"Semoga saja," jawabnya, sudut mulutnya miring ke atas membentuk senyuman yang tidak sampai ke matanya. Dalam tindakan kecil itu terdapat seluruh kosmos cinta yang dipenuhi dengan skeptisisme.

"Dan aku harap kau juga bisa mengerti," ucapnya lembut, hangatnya kopi merembes ke telapak tangannya, "bahwa ada saatnya kita harus mendengarkan bisikan hati, bukan hanya mengungkapkan ambisi."

"Kita akan lihat," gumam Dinda, siluetnya mulai memudar saat ia melangkah mundur, beringsut menuju dunia luar---dunia yang metrik kesuksesannya jelas dan terukur.

"Kita akan lihat," Aditya menggema pada dirinya sendiri, memperhatikan pintu tertutup di belakangnya, meninggalkannya sendirian dengan pikirannya dan sisa uap terakhir yang keluar dari cangkirnya. Jurang pemisah tetap ada, dijembatani oleh cinta namun dibarikade oleh perbedaan, masing-masing berada pada jalurnya masing-masing namun saling terkait dan tidak dapat ditarik kembali.

Saat kunci terkunci pada tempatnya, menutup tempat perlindungannya dari hiruk pikuk kota, pikiran Aditya berputar-putar dengan kemungkinan dan jebakan dari jalan yang telah dipilihnya. Bisakah dia menavigasi pengembaraan penemuan jati diri ini tanpa kehilangan koneksi dengan orang yang selalu memperjuangkan kemenangannya?

Dia duduk, kain sofa memeluk bentuknya saat dia merenungkan jalan di depan. Babak kehidupan mereka bersama belum lengkap, kalimat-kalimat terbuang sia-sia, menunggu untuk diisi dengan tindakan dan realisasi yang belum datang.

Maka, dengan rasa kopi yang masih melekat di lidahnya---pengingat pahit akan rumitnya hidup---Aditya Wirawan menghadapi malam, hatinya seperti pendulum yang berayun antara keraguan dan tekad.

BERSAMBUNG .... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun