Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Belajar dari Nikmantnya Secangkir Kopi #6

15 Januari 2024   10:04 Diperbarui: 15 Januari 2024   10:43 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kadang tujuan yang paling penting sulit dijelaskan," renungnya dalam hati, pandangannya beralih ke jendela tempat kekacauan kota menjadi film bisu di balik kaca. "Mungkin ada lebih banyak cara untuk mendefinisikan kesuksesan daripada yang kukira..."

"Adit," Dinda membuyarkan lamunannya, nadanya tegas namun diwarnai kekhawatiran. "Jangan biarkan renunganmu membuatmu terjebak di dekatnya."

Hatinya berjuang melawan batasan harapan dan keinginan. Aditya tahu Dinda hanya menginginkan yang terbaik untuknya, tapi bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa yang terbaik mungkin tidak bisa ditemukan di spreadsheet dan angka penjualan?

"Kesuksesan tanpa pemahaman diri...apakah itu cukup berarti?" dia bertanya, lebih pada dirinya sendiri daripada pada wanita itu, merasakan tarik-menarik dalam dirinya semakin intensif.

"Tidak semua hal harus bermakna, Adit. Kadang-kadang, kita bertindak karena itu perlu dilakukan," balas Dinda, pandangan dunianya sekonkret trotoar di bawah kaki mereka.

Aditya menatap mata adiknya, mencari jembatan antara dunia mereka. Ada cinta di sana, bercampur dengan rasa realitas yang kuat. Dia menyesap kopinya, rasa pahit yang kaya entah bagaimana membumi, mengingatkannya pada perpaduan perspektif yang membuat hidup menjadi rumit dan menawan.

"Apakah aku bisa menemukan tempatku di dunia ini, satu yang memenuhi harapanku dan juga harapanmu, Kak?" dia merenung dalam diam, pertanyaannya tergantung pada keseimbangan, belum terjawab.

Jari-jari Aditya melingkar erat di sekeliling mug keramik, barikade melawan gelombang ketegangan yang bergulir dari Dinda. Dia berdiri dengan punggung tegak, bahu tegak seperti tiang marmer, bayangannya membentuk sosok panjang dan mengesankan di lantai yang dipoles. Tangannya terkepal di belakang punggungnya, seorang jenderal siap menyampaikan strateginya menuju kemenangan.

"Kau tahu, Adit," ia memulai, suaranya terdengar tajam dan tepat, "hidup tidak menunggu orang yang hanya duduk dan berpikir. Kita harus bertindak."

"Kadang kala," jawab Aditya, suaranya lembut namun tegas sambil menelusuri pinggiran mugnya, "bertindak tanpa pemahaman diri hanya akan membawa kita ke tempat yang sama sekali tidak kita inginkan."

Ruangan itu tampak mengecil seiring dengan setiap kata yang diucapkan, partikel-partikel ketidaksepakatan yang bermuatan berdengung di udara. Kaki Dinda menghentak-hentak tak sabar, denyut berirama menggema di jantung Aditya sendiri yang berdebar kencang. Matanya menyipit, bukan karena marah, tapi karena tidak mengerti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun