"Dan kamu pikir aku tidak berusaha? Kamu pikir semuanya ini," dia memberi isyarat lebar, meliputi dunia di luar gelembung mereka, "datang tanpa pengorbanan?"
Intensitas pertengkaran terlihat jelas, arus emosional yang mengalir di antara mereka melonjak dan menurun seiring dengan setiap kalimat yang diucapkan. Sorot mata Dinda yang tadinya dipenuhi kekhawatiran bak adik, kini menajam bagaikan baja, menantangnya di setiap kesempatan. Aditya, yang posturnya biasanya melengkung ke dalam saat refleksi, berdiri tegak melawan rentetan serangan, tangannya terkepal di sisi tubuhnya.
"Kamu terlalu tenggelam dalam memikirkanmu sendiri, Adit. Dunia tidak menunggu kita untuk siap," dorong Dinda, kata-katanya bagai anak panah yang ditujukan untuk menembus pelindung idealismenya.
"Dan apa artinya bergerak maju jika kita tidak memahami suasananya?" dia membalas, rasa frustrasi mewarnai nadanya. Jantungnya berdebar kencang di tulang rusuknya, mencerminkan irama staccato mesin espresso saat mesin itu mengeluarkan pesanan lainnya.
"Memmahami arah? Kamu baru saja menghabiskan setahun merenungkan tanpa hasil yang jelas!" Tangan Dinda terangkat gemas, seikat rambut keritingnya lepas dari kungkungannya.
"Setiap orang memiliki jalannya masing-masing, Kak." Suara Aditya menjadi berbisik, matanya menelusuri pusaran uap rumit yang mengepul dari cangkir di dekatnya.
"Jangan gunakan kata-kata puitis untuk menghindari kenyataan, Adit!" Tuduhannya mengganggu suasana kafe yang nyaman, menyebabkan pengunjung di dekatnya melirik dari layar laptop mereka.
Aditya bergeser dengan tidak nyaman, konflik internalnya meluas. Ia memahami kekhawatiran Dinda; hal tersebut bukannya tidak berdasar. Namun jiwanya mendambakan sesuatu yang melampaui kesuksesan nyata yang sangat disayanginya.
"Kak, aku hanya mencoba..." Dia berusaha mencari kata yang tepat, namun kata-kata itu tersangkut di lidahnya, dibayangi oleh simfoni penggiling kopi dan susu yang berbusa.
"Kamu mencoba apa? Mencari alasan untuk lari dari tanggung jawab?" Dinda menyela, suaranya terdengar semakin keras di tengah alunan musik jazz lembut yang mengalun di atas kepala.
"Kadang lari bukan untuk menghindar, tapi untuk menemukan," gumam Aditya, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Aditya, tatapannya jauh, tenggelam dalam labirin pikirannya sendiri.