"Jadi, ini yang kau pilih," Dinda akhirnya memecah keheningan, suaranya bergema dengan nada pasrah.
"Iya, Kak." Penegasan Aditya berupa bisikan lembut namun pasti, bagaikan gemerisik dedaunan yang tertiup angin sepoi-sepoi. "Ini tentang menemukan nilai kehidupanku sendiri."
Profil Dinda memberikan bayangan mencolok terhadap cahaya steril yang memancar dari lorong, sosoknya merupakan monolit kekuatan dan ambisi. Dia menoleh setengah jalan, matanya mencerminkan galaksi emosi yang saling bertentangan, "Kau sadar, kan? Dunia tidak selalu memberikan kemewahan untuk memikirkannya."
"Memang," akunya, jemarinya menelusuri pinggiran keramik cangkir kopinya, aroma pahitnya naik bercampur dengan ketegangan di udara. "Tapi mungkin ada lebih banyak hal di dunia ini daripada yang bisa kita ukur."
"Adit..." Suaranya melemah, dan sesaat alam semesta seakan menahan napas. Jam di dinding terus berdetak tanpa henti menuju masa depan yang tidak pasti, detik-detik berlalu seperti pasir melalui jam pasir dari hubungan mereka yang tegang.
"Kak Dinda," Aditya memulai, tekadnya melawan simpul ketakutan yang semakin kuat dalam dirinya. Kakak perempuannya berdiri sebagai bukti atas segala hal yang dihargai masyarakat---kesuksesan, kekuasaan, kendali. Namun, di sinilah dia, berani memetakan arah melalui konsep pemenuhan dan tujuan yang samar-samar. "Aku berharap suatu hari nanti kau bisa mengerti."
"Semoga saja," jawabnya, sudut mulutnya miring ke atas membentuk senyuman yang tidak sampai ke matanya. Dalam tindakan kecil itu terdapat seluruh kosmos cinta yang dipenuhi dengan skeptisisme.
"Dan aku harap kau juga bisa mengerti," ucapnya lembut, hangatnya kopi merembes ke telapak tangannya, "bahwa ada saatnya kita harus mendengarkan bisikan hati, bukan hanya mengungkapkan ambisi."
"Kita akan lihat," gumam Dinda, siluetnya mulai memudar saat ia melangkah mundur, beringsut menuju dunia luar---dunia yang metrik kesuksesannya jelas dan terukur.
"Kita akan lihat," Aditya menggema pada dirinya sendiri, memperhatikan pintu tertutup di belakangnya, meninggalkannya sendirian dengan pikirannya dan sisa uap terakhir yang keluar dari cangkirnya. Jurang pemisah tetap ada, dijembatani oleh cinta namun dibarikade oleh perbedaan, masing-masing berada pada jalurnya masing-masing namun saling terkait dan tidak dapat ditarik kembali.
Saat kunci terkunci pada tempatnya, menutup tempat perlindungannya dari hiruk pikuk kota, pikiran Aditya berputar-putar dengan kemungkinan dan jebakan dari jalan yang telah dipilihnya. Bisakah dia menavigasi pengembaraan penemuan jati diri ini tanpa kehilangan koneksi dengan orang yang selalu memperjuangkan kemenangannya?