"Terima kasih, Lilis," katanya tulus, "karena memperlambatku, menunjukkan padaku bagaimana menemukan kegembiraan dalam apa yang dulu kuanggap sebagai hal biasa."
Lilis mengangguk, rambut bergelombangnya menangkap cahaya saat dia bergerak. "Saya dengan senang hati, Aditya. Ingat, tidak ada jalan pintas untuk menguasai—kopi, kehidupan. Masing-masing membutuhkan perhatian penuh Anda."
"Sebelum hari ini," Aditya mengaku, tatapannya tertuju pada cangkir seolah baru pertama kali melihatnya, "Kupikir aku baru belajar membuat kopi. Sekarang begitu... Aku sedang belajar membuat momen berarti."
"Semoga kamu mewujudkan kesadaran ini dalam segala hal yang kamu lakukan," kata Lilis, senyum hangatnya bagaikan sebuah ucapan syukur.
Ketika Aditya meninggalkan kedai kopi, keributan dari dunia luar tidak dapat menembus penemuan tenang yang muncul dalam dirinya. Hidup, sekarang dia mengerti, bukan hanya tentang mencapai tujuan atau menandai pencapaian. Ini tentang keheningan, rutinitas, momen-momen yang tampaknya tidak penting, yang jika disatukan, membentuk permadani eksistensi yang kaya. Sesi pelatihan ini telah membuka lebih dari sekedar keterampilannya dalam membuat cangkir yang sempurna—sesi ini telah membuka matanya terhadap cara hidup yang baru. Dan untuk itu, dia sangat berterima kasih.
Bersambung ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H