"Selalu," jawab Aditya, kehangatan penantian menyebar di nadinya seperti seteguk espresso pagi pertama. Dengan bimbingan Lilis, dia siap menyelami lebih dalam kerajinan yang mencerminkan rumitnya kehidupan—setiap cangkir memiliki cerita, setiap tegukan merupakan penemuan.
Tangan Aditya sedikit gemetar—bukan karena gugup, tapi karena arus listrik antisipasi yang mengalir melalui nadinya. Dia dengan hati-hati menyeka konter, memberikan ruang untuk ritual suci yang akan dia ikuti. Matanya bersinar dengan refleksi tujuan; ini bukan sekadar menyeduh kopi, ini tentang menyaring esensi kehidupan ke dalam bentuk cair.
"Kamu terlihat seperti seorang prajurit yang bersiap untuk perang," kata Lilis, suaranya melodi yang menenangkan dengan latar belakang dentingan cangkir dan gumaman percakapan.
“Perang melawan ketidaksempurnaan,” jawab Aditya, matanya terpaku pada mesin espresso seolah mesin itu adalah portal menuju dimensi lain—dunia di mana waktu berhenti dan setiap butir kopi menyimpan alam semesta di dalamnya.
"Setiap biji adalah peluang, Adit," kata Lilis, senyumnya hangat bagaikan mentari sore. Peluang untuk menciptakan sesuatu yang sempurna dari yang tidak sempurna.
Sambil mengangguk, Aditya mendekati penggiling, jari-jarinya menari-nari di atas biji kopi—begitu banyak bentuk, ukuran, dan janji yang terkandung dalam tampilan luarnya yang sederhana. Suara desiran memenuhi ruangan saat bilahnya berputar, sebuah simfoni transformasi dari padat menjadi debu, dari potensi menjadi potensi.
Dia mencondongkan tubuh lebih dekat, senandung mekanis sebuah mantra yang memanggil ke kedalaman jiwanya. Biji-bijian mengalir ke dalam portafilter, masing-masing memiliki nada dalam pembukaan aromatik. Uap mendesis dari mesin espresso, seekor naga terbangun dari tidurnya, siap menghembuskan api ke dalam air dan meleburnya dengan esensi kopi yang bersahaja.
Dalam hiruk-pikuk itu, Aditya menemukan ritme, detak jantung yang beresonansi dengan detak jantungnya sendiri. Inilah denyut nadi penciptaan, hembusan napas sebelum sebuah karya seni menghembuskan napas pertamanya. Dengan penuh semangat, dia menyerap setiap detailnya—cara uap mengepul di udara, aroma kaya yang menjanjikan kehangatan pahit, panas yang memancar dari permukaan logam.
"Ingat, nafasmu harus selaras dengan mesinnya," perintah Lilis lembut, namun kata-katanya mengandung kebijaksanaan kuno.
"Seperti meditasi," gumamnya, pikirannya melayang di atas uap, meliuk-liuk dalam jalinan momen saat ini. Tidak ada masa lalu atau masa depan, yang ada hanyalah masa kini—yang ada hanya keajaiban mengubah air dan kopi menjadi sesuatu yang transenden.
"Dan setiap tegukan adalah pencerahan," tambah Lilis, tatapannya tertuju padanya dengan intensitas yang menunjukkan bahwa dia melihat melampaui barista-dalam-pelatihan di hadapannya—sebuah pengakuan akan pencari di dalam.