"Konsistensi," tegasnya, napasnya pun selaras dengan ritme usaha mereka bersama. Aditya menyesuaikan pengaturan penggilingan dengan cermat, mengamati partikel mencapai kekasaran sempurna, seperti keseimbangan timbangan yang mengarah ke keseimbangan.
"Lihat bagaimana kamu belajar memercayai indramu?" Lilis mengamati, menunjuk ke tangannya, yang kini bergerak dengan yakin. Kepercayaan diri datang ketika Anda menerima prosesnya, bukan hanya hasilnya.
Dia mengangguk, menerima kebijaksanaannya. Apa yang tadinya terasa seperti meraba-raba buta kini mulai menyerupai semacam koreografi yang intim. Setiap sendok kopi, setiap tampal, menunjukkan bahwa ia semakin akrab dengan kerajinan tersebut. Ada keindahan di sini, dalam pengulangan, dalam kemahiran yang diperlukan untuk mencapai sesuatu yang tampaknya sederhana namun sangat rumit.
"Tarik tembakannya," perintah Lilis, sambil mundur untuk memberinya ruang.
Aditya memposisikan portafilter dengan tangan mantap, mengaktifkan mesin dengan bunyi klik yang menentukan. Mesin espresso mendesis dan mengerang, seolah penuh antisipasi. Dia menyaksikan dengan terpesona saat ambrosia gelap itu turun ke dalam cangkir yang sudah menunggu—rangkaian warna coklat tua dan kuning, di atasnya diberi krema keemasan seperti cahaya pertama fajar.
"Cantik," dia berbisik lebih pada dirinya sendiri daripada pada Lilis, mengagumi karya seni cair di hadapannya.
"Memang," Lilis menyetujui, matanya bersinar bangga. "Kamu sudah melangkah jauh hari ini, Aditya."
Dia mendongak dari cangkir untuk menatap tatapannya, merasakan beban perjalanannya saat ini—kemenangan kecil ini. Kehangatan menyebar ke seluruh tubuhnya, yang tidak ada hubungannya dengan uap yang keluar dari mesin.
“Terima kasih,” kata Aditya, meski rasa syukur sepertinya bukan kata yang terlalu berarti untuk perubahan yang terjadi dalam dirinya. Dia mengambil gambaran mental dari pemandangan itu—aromanya yang kaya, tekstur halus dari bubuknya, seni penuangannya yang halus. Ini bukan sekadar langkah-langkah membuat kopi; itu adalah jeda meditatif dalam kesibukan hidup, ajakan untuk hadir sepenuhnya.
"Ingat perasaan ini," saran Lilis, nadanya lembut dan dalam. "Bawalah bersamamu, melewati tembok ini."
Aditya memejamkan mata, membekaskan sensasi dalam jiwanya—sifat membumi, kompleksitas aroma yang berlapis-lapis, kebanggaan atas pencapaian. Ini lebih dari sekedar pelajaran dalam membuat kopi; itu adalah pelajaran dalam hidup.