Aditya mengangguk, merasakan kebenaran kata-katanya bergema dalam dirinya. Ada sejarah dalam tindakan sederhana meminum kopi ini, hubungannya dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Setiap nuansa rasa adalah sebuah kata, setiap teguk sebuah kalimat dalam narasi kehidupan yang berkelanjutan.
"Terima kasih," katanya setelah jeda kontemplatif lagi, cangkir itu berada di antara kedua tangannya seperti sebuah kenangan berharga. "Untuk mengajari saya tidak hanya membuat kopi, tapi juga merasakannya."
"Ingatlah selalu, Aditya," Lilis berbicara, nadanya dipenuhi dengan nada yang sungguh-sungguh, "kopi itu seperti kehidupan—paling baik dihargai jika seluruh rasanya, dan selalu layak untuk diluangkan waktu untuk menikmatinya.
Uap dari cangkir mengepul dalam sulur-sulur lembut, menyelimuti indra Aditya seolah mendesaknya untuk berhenti sejenak dan menikmati momen. Dia memegang kopinya erat-erat, bukan sekedar minuman tapi wadah berisi keputusan-keputusan kecil yang tak terhitung jumlahnya dan keseimbangan yang rumit, masing-masing berpuncak pada kehangatan yang menyebar melalui telapak tangannya.
“Setiap detik yang diperlukan agar kopi mekar,” renungnya keras-keras, “adalah pengingat bahwa kesabaran bukan hanya suatu kebajikan; itu adalah unsur yang sangat penting.”
"Memang," Lilis menyetujui, matanya memantulkan cahaya lembut lampu kafe. “Ini tentang menerima proses, bukan hanya terburu-buru menuju hasil.”
Aditya menyaksikan setetes kondensasi mengalir di sisi cangkir, perjalanannya yang lambat sangat kontras dengan dunia yang terburu-buru di luar jendela kafe. Dia menyadari betapa seringnya dia mencerminkan ketergesaan di luar, selalu melihat ke depan tanpa menghargai saat ini. Pembuatan kopi merupakan semacam tarian, setiap langkahnya disengaja dan penuh dengan tujuan. Itu adalah sebuah pelajaran, sebuah praktik yang jarang dia lakukan sendiri.
"Seperti kopi ini," lanjutnya sambil berpikir, "hidup bisa pahit atau manis, kuat atau lembut. Tapi aku terlalu sibuk menantikan tetes terakhir untuk menikmati tetes pertama."
"Atau jarak di antara mereka," Lilis menambahkan lembut, suaranya menariknya kembali ke masa kini.
"Tepat sekali," katanya sambil mengangkat cangkir itu ke bibirnya sekali lagi. Kali ini, dia tidak hanya mencicipi kopinya; dia merasakan narasinya terungkap, setiap nada menggambarkan karakter dalam kisah pada zamannya, meminta untuk diakui, dipahami.
Dia meletakkan cangkirnya, gerakannya menggemakan ketenangan baru yang menyelimutinya. Senyum penuh syukur tersungging di bibirnya, ditujukan pada Lilis, yang tidak hanya menjadi mentornya dalam seni kopi namun juga menjadi pembimbing menuju pengalaman hidup yang lebih kaya dan penuh.