Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #3

12 Januari 2024   14:44 Diperbarui: 12 Januari 2024   15:38 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAB 3: Ajakan Bertindak

Aditya Wirawan duduk sendirian di sudut sepi apartemen sederhana miliknya, di mana dengungan lembut detak jantung kota terdengar samar-samar bergema di balik dinding. Dia menatap ke luar jendela, pemandangan cakrawala yang indah kabur menjadi permadani monokrom dari beton dan baja yang tidak lagi menimbulkan rasa kagum tetapi menimbulkan rasa terkurung. Matanya menunjukkan kegelisahan, kegelisahan yang muncul bukan karena kurang tidur, melainkan karena rasa haus yang tak terpuaskan akan makna.

"Apakah ini semuanya?" dia bergumam pada dirinya sendiri, menelusuri tepi cangkir kopi kosong dengan jarinya.

Apartemennya merupakan bukti sifatnya yang menyendiri dan teliti -- segala sesuatu ada tempatnya, namun tatanannya tidak memberikan banyak kenyamanan. Buku-buku di rak disejajarkan dengan sempurna, duri-durinya menunjukkan tingkat keausan, menandai berlalunya waktu. Saat ia berdiri, tubuh ramping Aditya bergerak dengan penuh tekad, otot-otot di bawah kulitnya melingkar seperti pegas yang siap terlepas.

"Mungkin sudah waktunya," bisiknya, tekad mengeras dalam dirinya saat dia memikirkan perjalanan ke depan. "Saatnya menemukan apa yang menggugah jiwa."

Aditya berjalan ke meja kecil yang penuh dengan catatan dan pena, satu-satunya kekacauan yang diperbolehkan dalam hidupnya. Dia mulai memilah-milah kertas, masing-masing merupakan sisa ide dan impian yang belum terwujud. Dia berhenti sejenak, memandangi catatan tertentu yang berisi pertanyaan yang bergema di benaknya: "Apa yang ada di balik cakrawala duniawi?"

Pertanyaan itu terus berlanjut, dan Aditya memejamkan mata, membiarkan rasa penasarannya melukiskan gambaran tentang negeri yang jauh dan hasrat yang belum ditemukan. Dia melihat dirinya mengembara melintasi ladang pengetahuan, setiap helai rumput merupakan pelajaran yang menunggu untuk diserap. Dengan setiap tarikan napas, ia merasakan udara kepuasan yang pengap digantikan oleh angin segar petualangan.

"Cukup berdiri diam," dia memutuskan, suaranya bercampur antara kegembiraan dan rasa gentar. Membuka matanya, dia mengeluarkan laptopnya dan mulai mengetik dengan sungguh-sungguh, setiap klik merupakan langkah menuju hal yang tidak diketahui. Layar menyinari wajahnya di ruangan yang remang-remang, memunculkan bayangan yang memengaruhi ekspresi kontemplatifnya.

"Di mana aku harus mulai?" dia merenung, kursornya berkedip penuh harap. Dia bersandar di kursinya, menyisir rambut hitam pendeknya dengan tangan sambil mempertimbangkan banyak sekali jalan di depannya. Yang ia cari bukanlah kekayaan atau ketenaran, melainkan sesuatu yang jauh lebih sulit dipahami -- inti dari kehidupan yang dijalani dengan baik.

"Penemuan jati diri," dia mengetik, kata-katanya muncul seperti proklamasi di layar. "Sebuah perjalanan menuju jantung keberadaan." Jantung Aditya berpacu dengan prospek untuk menempuh jalan ini, mengetahui bahwa langkah pertama sering kali merupakan langkah tersulit sekaligus paling membebaskan.

Dia melirik kembali ke cangkir kopi, saksi bisu dari introspeksi pagi yang tak terhitung jumlahnya. Kenikmatan sederhana dari isinya selalu memberinya hiburan singkat, teman dalam kesendirian. Tapi sekarang, hal itu mengisyaratkan dia untuk menggali lebih dalam, untuk mengeksplorasi kisah-kisah tak terhitung yang ada di kedalamannya yang gelap dan aromatik.

"Mari kita mulai pencariannya," kata Aditya, senyumannya menembus lapisan ketidakpastian. Dia berdiri sambil merentangkan tangannya ke arah langit-langit seolah meraih bintang yang tersembunyi di balik lampu kota.

"Ini untuk menemukan hal yang luar biasa dalam hal biasa," katanya dengan lantang, bersulang secara pribadi untuk memulai sebuah petualangan yang berjanji akan memuaskan dahaganya akan tujuan. Bersamaan dengan itu, Aditya Wirawan menjauh dari jendela, meninggalkan pemandangan kota, bersemangat untuk merangkul misteri kehidupan yang menunggu untuk ditemukan.

Aditya menggendong keramik hangat di telapak tangannya, panasnya yang lembut meresap ke dalam kulitnya. Uapnya mengepul dalam sulur-sulur halus, sebuah tarian yang fana dan abadi. Saat dia mendekatkan pinggirannya ke bibirnya, aroma kaya biji kopi panggang menggoda indranya.

"Setiap tegukan adalah tindakan kecil dalam hidup," gumamnya pada dirinya sendiri, menikmati rasa kuat yang memenuhi mulutnya. "Namun di dalamnya terdapat kemungkinan adanya dunia yang tak terbatas."

Pandangannya tertuju pada tetesan-tetesan yang mengembun di kaca jendela, masing-masing merupakan mikrokosmos yang memantulkan cahaya redup lampu dapurnya. Aditya merasa luar biasa bagaimana sesuatu yang begitu biasa bisa menangkap esensi keindahan hidup yang sementara. Kopi, seperti butiran air ini, sederhana namun mendalam; sebuah ritual harian yang memiliki kekuatan untuk membuka momen-momen kejelasan yang tak terduga.

"Mungkin minuman sederhana ini bisa mengajariku apa yang ingin kupahami," dia merenung, meletakkan cangkirnya dengan suara denting lembut di atas meja kayu yang gelap.

"Engkau akan menjadi guruku," katanya, kata dalam bahasa Indonesia untuk 'kamu akan menjadi guruku' mengalir dengan mudah dari lidahnya. Dengan tekad barunya, dia meraih laptopnya dan mulai mengetik, jari-jarinya menari-nari di atas tombol.

"Hidup itu ibarat kopi, harus diseduh dengan hati-hati dan sabar," tulisnya. "Untuk mengekstrak esensi dari keduanya memerlukan perhatian terhadap detail, apresiasi terhadap proses, dan penghormatan terhadap waktu yang diperlukan untuk mengembangkan kompleksitas."

Hati Aditya berdebar kencang membayangkan perjalanannya memasuki dunia kopi---bukan sekadar penikmat cita rasa, tapi juga pencari hikmah. Dia membayangkan dirinya memetakan seluk-beluk daging panggang dan asal-usul yang berbeda, masing-masing variasi merupakan sebuah bab dalam narasi pertumbuhan dan penemuan yang lebih besar.

"Melalui alkimia pembuatan bir, aku akan belajar," lanjutnya, pikirannya mengkristal menjadi keyakinan. "Ukuran penggilingan, suhu air, penuangan -- setiap variabel adalah keputusan, sama seperti pilihan yang kita buat dalam hidup."

Dia berdiri, merentangkan rasa sesak yang ada di antara bahunya. Dengan cangkir di tangan, dia berjalan menuju rak buku, menelusuri duri-durinya dengan jari sampai mereka berhenti di depan panduan pembuatan kopi artisanal. Bukan hanya instruksi yang dia cari, tapi pencerahan melalui pengulangan meditatif untuk menyempurnakan keahliannya.

"Siapa yang tahu rahasia apa yang akan kamu ungkapkan?" Aditya merenung sambil membolak-balik halaman berisi ilmu yang belum bisa dinikmati.

"Ini perjalanan selanjutnya," katanya lembut, mengangkat cangkirnya sekali lagi sebelum menyesapnya lagi. Pada saat itu, dia memahami bahwa dengan menyelami kedalaman kopi, dia mungkin akan menemukan kedalaman dalam dirinya.

Jari-jari Aditya menari-nari di atas keyboard, bunyi klik lembut menyatu dengan dengungan lembut mesin kopi di latar belakang. Layar di depannya bersinar dengan kisah-kisah Abyssinia kuno, di mana kambing, pada suatu waktu, dikatakan telah menemukan efek energi dari buah kopi. Matanya melahap kata-kata itu, pintu gerbang ke masa lalu.

"Ah, Kaldi," bisik Aditya geli dengan legenda penggembala kambing yang kawanan penarinya membawa penemuan kopi. "Sungguh suatu kebetulan yang kamu temui."

Artikel tersebut merinci bagaimana ceri merah ini melakukan perjalanan dari dataran tinggi Etiopia ke biara-biara para biksu, dan akhirnya melintasi lautan luas ke negeri-negeri yang jauh. Setiap kalimat menjalin permadani rumit rute perdagangan, pertukaran budaya, dan kekuatan transformatif dari ramuan gelap ini. Pikiran Aditya dipenuhi kegembiraan saat membayangkan karavan membawa kacang-kacangan yang berharga, melintasi bukit pasir di bawah langit berbintang.

"Dari ritual suci hingga revolusi," gumamnya sambil menelusuri garis waktu dengan tatapannya. "Kopi, kamu memang benang merah dalam selimut umat manusia."

Dia hampir bisa mencium aroma biji kopi panggang di masa lalu, aromanya bercampur dengan dupa dan ambisi. Dengan setiap gulungan, makna kopi semakin bertambah, menjadi simbol wacana intelektual di kafe-kafe Eropa dan saksi bisu lahirnya filsafat modern.

"Kerajaan telah bangkit dan jatuh bersamamu," renung Aditya sambil bersandar di kursinya. Ia merenungkan hubungan mendalam yang dimiliki orang-orang sepanjang sejarah dengan kopi -- sebuah jangkar di masa-masa penuh gejolak, sebuah percikan bagi pikiran yang lelah.

"Mari kita lihat rahasia apa yang dimiliki oleh tanah kita sendiri," katanya sambil berdiri dengan penuh tujuan. Pindah ke dapur, ia mengeluarkan koleksi peralatan pembuatan bir -- mesin press Prancis, AeroPress, dan alat pembuat bir siphon -- yang masing-masing merupakan bukti kecerdikan manusia. Matahari menyinari jendela, menyinari peralatan yang berkilauan dengan cahaya hangat.

"Trial and error, inti dari semua penemuan," Aditya berbicara di ruangan kosong sambil mengukur tanah dengan tepat. Dengan pers Perancis, dia mencari ketangguhan; AeroPress, kejelasan; siphon, teater.

"Suhu air sembilan puluh empat derajat, mekar selama tiga puluh detik," dia menginstruksikan dirinya sendiri, sambil menuangkan air dalam gerakan melingkar ke atas tanah dengan AeroPress. "Tekanan adalah kuncinya." Dia menekan, perlawanan menghasilkan aliran cairan aromatik ke dalam cangkirnya.

"Ah..." Desahan keluar darinya saat dia mencicipi hasilnya. Itu belum sempurna; profil rasa kurang mendalam. Menyesuaikan penggilingannya menjadi lebih kasar, dia mencoba lagi, tekadnya tak tergoyahkan.

"Setiap kacang menceritakan sebuah kisah," pikirnya sambil beralih ke siphon. "Ayo temukan milikmu." Dia menyaksikan air naik ke ruang kaca, sebuah tarian suhu dan fisika. Siphon, dengan keseimbangannya yang halus, menuntut perhatian penuh darinya.

"Kekacauan terkendali," katanya, mengapresiasi topan di dalam siphon. "Seperti kehidupan itu sendiri."

Saat kopi yang diseduh mengalir kembali ke bagian bawah, Aditya merasakan hubungan kekerabatan dengan para alkemis di masa lalu. Di sinilah dia, mengubah hal biasa menjadi sihir, mencari kesempurnaan dalam ketidaksempurnaan proses dan langit-langit.

"Penemuan di setiap tetesnya," tutupnya, sambil mendekatkan cangkir yang baru diseduh ke cahaya. Aromanya yang kaya menjanjikan nada-nada yang belum dia pecahkan, tapi dia sangat bersemangat untuk tantangan ini.

"Besok, kita sempurnakan lebih lanjut," dia bersumpah sambil menyesapnya secara kontemplatif. Dalam kerumitan kopi, ia menemukan hiburan, dan dalam kerajinannya, ia menjadi cerminan perjalanan evolusinya.

Sinar mentari pagi masuk melalui jendela dapur, memancarkan sinar keemasan ke berbagai macam biji kopi yang terhampar di hadapan Aditya. Setiap kacang kecil dan sederhana menyimpan seluruh dunia rasa di dalamnya, menunggu untuk dibuka oleh sepasang tangan yang tepat. Dia mengambil segenggam, membiarkannya mengalir melalui jari-jarinya seperti butiran pasir aromatik.

"Berasal dari Etiopia, tempat lahirnya kopi," gumamnya sambil mengagumi warna kehijauan biji mentah Yirgacheffe. "Anda membawa bisikan tradisi kuno." Matanya menyipit saat dia menuangkan biji kopi ke dalam penggiling, bilah yang berputar mengeluarkan simfoni aroma.

"Bunga, dengan sedikit kulit lemon," bisiknya sambil memejamkan mata agar bisa menangkap profil aroma dengan lebih baik. Keharumannya adalah sebuah pintu masuk, membawanya lebih jauh ke dalam ekspedisi indranya. Dengan setiap batch baru, Aditya menggali lebih dalam tentang terroir, mengungkap seluk-beluk antara asal tunggal dan campuran.

"Sumatera... berani dan bersahaja," katanya sambil menyendok ampas kopi ke dalam wadah tuang. Air panas mengalir di atas gundukan gelap, semburan warna coklat tua saat gas keluar. Dia mengamati tetesan air dengan ketelitian seorang ilmuwan, namun ada gairah seorang seniman dalam tatapannya.

"Setiap biji kopi mempunyai suaranya masing-masing," pikirnya sambil mencicipi minuman khas Sumatera itu. "Medan yang terjal berubah menjadi kompleks yang penuh kompleksitas."

Kegembiraannya melonjak saat dia meraih sekantong kacang Kolombia. "Lagumu lebih halus," katanya sambil menggilingnya hingga konsistensinya halus-sedang. Pers Prancis menunggu, ruang kacanya menjadi panggung bagi kacang Kolombia untuk menampilkan melodi mereka yang lebih lembut dan pedas.

"Keseimbangan adalah kuncinya," Aditya mengingatkan dirinya sendiri sambil menekan tombol pendorong, otot-ototnya melentur dengan kekuatan yang terkendali. Hasilnya adalah bukti keterampilannya yang semakin berkembang---perpaduan harmonis antara rasa asam dan manis yang menari-nari di langit-langit mulutnya.

"Lebih dari sekedar minuman," dia berbicara keras-keras, suaranya diwarnai dengan rasa hormat. "Ini adalah budaya, sejarah, dan seni yang menyatu dalam bentuk cair."

Beralih ke sekantong kacang Blue Mountain yang eksotis, denyut nadinya bertambah cepat karena antisipasi. "Jamaika, reputasi Anda mendahului Anda," katanya, menyapa orang-orang tersebut seolah-olah mereka adalah teman lama. Metode penuangan tidak cukup di sini; sebaliknya, dia memilih siphon yang cermat sekali lagi, ingin sekali mengeluarkan aroma coklat lembut yang terkenal di pegunungan ini.

"Sabar," dia berkata pada dirinya sendiri ketika air kembali naik, alisnya berkerut karena konsentrasi. Citarasanya menuntut rasa hormatnya, kesediaannya untuk menunggu dan menyaksikan keajaiban terungkap.

"Ah, ini dia," serunya saat tegukan pertama mengungkapkan simfoni bumbu lembut dan kecerahan yang cerah. "Mengejar cangkir yang sempurna---tidak pernah berakhir, sama seperti pencarian makna dalam hidup."

Perjalanan Aditya melalui dunia rasa telah membentuk dirinya, pencariannya akan minuman terbaik mencerminkan perjalanan batinnya menuju penemuan jati diri. Besok, dia akan menjelajahi daerah lain, kumpulan biji-bijian lain, tapi hari ini, dia menikmati kepuasan atas keahliannya, kegembiraan karena mengungkap misteri yang tersimpan di dalam setiap benih yang berharga.

Aditya berdiri di depan meja yang berkilauan, jari-jarinya menelusuri garis-garis halus mesin espresso---wadah alkemis modern. Aroma kaya kopi yang baru digiling meresap ke udara, aroma yang kompleks dan mengundang seperti permadani kehidupan itu sendiri. Dia mengunci portafilter di tempatnya dengan bunyi klik yang memuaskan, tindakannya disengaja, hampir bersifat ritual.

"Hidup," renungnya dalam hati sambil menekan tombol start, "mirip dengan proses ini. Ini tentang tekanan, panas, dan waktu. Dan seperti kacang-kacangan ini, kita bertransformasi dalam kondisi seperti itu."

Dia memperhatikan dengan penuh perhatian saat cairan gelap dan lembut mulai mengalir ke dalam cangkir di bawahnya, aliran kecil pada awalnya berkembang menjadi air terjun yang mengalir ke seluruh tubuh. Setiap tetes adalah momen, setiap riak adalah pilihan, berkumpul untuk mengisi bejana keberadaan.

"Kesempurnaan bukanlah sebuah titik akhir, tapi sebuah perjalanan," bisik Aditya, menangkap pemikiran tersebut sebelum sempat menguap seperti uap yang mengepul dari minumannya.

Saat mesin itu bersenandung lembut, getarannya menjadi lagu pengantar tidur yang menenangkan, dia membayangkan berbagi pencerahan ini dengan teman-teman lama dan baru. Dia membayangkan percakapan terjadi sambil minum kopi, ide-ide meresap dalam kehangatan pemahaman bersama.

"Bayangkan," katanya, sambil melatih kata-katanya di hadapan penonton yang belum terlihat, "jika kita menjalani kehidupan seperti kita menikmati secangkir kopi yang nikmat. Dengan kesabaran, dengan ketelitian, mencari kedalaman dan menikmati kompleksitas."

Matanya menari-nari kegirangan melihat prospek itu. Penggilingnya berputar lagi saat dia menyiapkan kopi lagi, kali ini untuk dua orang teman khayalan. Dia menuangkan air panas ke pers Perancis, gerakannya anggun, tarian antara manusia dan inspirasinya.

"Berbagi semangat ini, lebih dari sekadar menyebarkan pengetahuan," dia berlatih, nada suaranya yang kaya berpadu dengan simfoni pembuatan bir. "Ini tentang koneksi, tentang menemukan titik temu dalam landasan yang kita buat."

Penyedotnya turun perlahan-lahan, perlawanan di bawah telapak tangannya mengingatkan akan upaya yang menuntut pemahaman sejati---tentang kopi, kehidupan, diri sendiri. Dia menuangkan minuman itu ke dalam dua cangkir yang sudah menunggu, uapnya mengepul ke atas seperti roh yang dipanggil.

"Ini untuk penemuan," dia bersulang, mengangkat cangkir ke arah cahaya yang masuk melalui jendela, "ke jalur yang kita lalui dan rasa yang kita temui di sepanjang jalan."

Di saat hening dalam kesunyian ini, dikelilingi oleh keahliannya, Aditya merasakan gelombang penantian akan dialog-dialog yang akan datang---berbagi wawasan, meleburnya pikiran, kepuasan manis dari persekutuan dalam secangkir yang diseduh dengan sempurna. Hatinya membuncah karena keinginan untuk memberi inspirasi dan terinspirasi, yakin bahwa setiap tegukan yang diminumnya akan mendekatkan mereka pada hakikat kehidupan itu sendiri.

Aditya berdiri di samping deretan toples kaca yang masing-masing berisi biji kopi dari berbagai penjuru dunia. Sinar matahari saat jam emas melalui jendela dapurnya menyinari label-label itu dengan hangat, mengubahnya menjadi mercusuar kecil dari wilayah yang diwakilinya. Ujung jarinya menelusuri kata-kata "Ethiopia Yirgacheffe" dan "Guatemalan Antigua" sambil memikirkan mana yang harus dipilih. Di dalam ritual inilah terdapat inti perjalanannya---sebuah jalan yang dipenuhi kacang-kacangan dan mimpi.

"Setiap kacang," renungnya keras-keras, "seperti sebuah cerita yang menunggu untuk diungkap oleh indra." Tangannya menyentuh toples berlabel "Mandheling Sumatera", yang isinya menjanjikan kekayaan alam yang ingin ia uraikan lebih lanjut.

Sambil mengambil segenggam penuh, ia memeriksanya dengan cermat, teksturnya, variasi warnanya yang halus, masing-masing merupakan bukti tanah dan matahari yang telah memberi kehidupan pada mereka. Saat dia memasukkannya ke dalam penggiling, rasa damai menyelimuti dirinya. Ini adalah tempat perlindungannya, di mana setiap tanah berbicara tentang potensi, dan setiap aroma membuka sebagian jiwanya.

"Ini untukmu, Sumatra," bisiknya sambil menekan tombol. Dengung penggiling merupakan awal dari penemuan, janji wawasan dalam setiap revolusi. Ampas halus dikumpulkan di bagian dasar---gundukan aromatik yang menjanjikan. Dia memasukkannya dengan hati-hati ke dalam filter, gerakannya disengaja, hampir penuh hormat.

"Hidup itu seperti ukuran yang tepat," pikir Aditya, air panas meresap ke dalam tanah dengan desisan lembut. "Setiap momen dipenuhi dengan esensi dari apa yang terjadi sebelumnya, membangun cita rasa, membangun karakter."

Saat kopi menetes ke dalam teko, ruangan itu dipenuhi aroma negeri yang jauh. Dia menuangkan secangkir, uapnya mengepul seperti roh yang terbebas dari batasan duniawi. Aditya menggendong cangkir hangat di tangannya, panas merembes ke kulitnya, denyut nadinya selaras dengan ritme tetesan.

"Ah, rumit," desahnya sambil menyesapnya. Kopi terbentang di lidahnya, aroma cedar dan rempah-rempah bercampur dengan keasaman yang halus. Setiap tegukan adalah satu langkah lebih dalam menuju pemahaman---bukan hanya tentang minumannya tetapi juga tentang dirinya sendiri. Dengan setiap variasi baru yang ia jelajahi, ia menemukan kesamaan dengan pertumbuhannya---terkadang pahit, terkadang manis, selalu berkembang.

"Siapa yang mengira kepuasan seperti itu bisa ditemukan dalam sebuah cangkir?" dia bertanya pada ruangan yang sunyi, suaranya membawanya kembali ke masa kini.

"Besok," kata Aditya sambil meletakkan cangkir kosongnya, "Saya akan menjelajahi keajaiban metode cold brew." Antisipasi akan terurainya lapisan lain mengirimkan getaran kegembiraan ke dalam dirinya. "Makna tersembunyi apa yang akan kau ungkapkan, kopi? Rahasia apa yang tersembunyi di lubuk hatimu?"

Cahaya matahari terakhir memudar, membuat ruangan bersinar dengan cahaya lembut matahari terbenam. Aditya menatap ke luar jendela, siluetnya terpantul di kaca, menyatu dengan langit yang semakin gelap. Besok akan ditandai dengan daya tarik wilayah yang belum dipetakan, dan dia siap mengindahkan panggilan tersebut.

"Inilah perjalanannya," dia bersulang menjelang senja, bab hari ini ditutup dengan desahan puas, halaman-halaman hari esok berkibar penuh semangat ditiup angin kemungkinan.

Bersambung ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun