Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #3

12 Januari 2024   14:44 Diperbarui: 12 Januari 2024   15:38 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia berdiri, merentangkan rasa sesak yang ada di antara bahunya. Dengan cangkir di tangan, dia berjalan menuju rak buku, menelusuri duri-durinya dengan jari sampai mereka berhenti di depan panduan pembuatan kopi artisanal. Bukan hanya instruksi yang dia cari, tapi pencerahan melalui pengulangan meditatif untuk menyempurnakan keahliannya.

"Siapa yang tahu rahasia apa yang akan kamu ungkapkan?" Aditya merenung sambil membolak-balik halaman berisi ilmu yang belum bisa dinikmati.

"Ini perjalanan selanjutnya," katanya lembut, mengangkat cangkirnya sekali lagi sebelum menyesapnya lagi. Pada saat itu, dia memahami bahwa dengan menyelami kedalaman kopi, dia mungkin akan menemukan kedalaman dalam dirinya.

Jari-jari Aditya menari-nari di atas keyboard, bunyi klik lembut menyatu dengan dengungan lembut mesin kopi di latar belakang. Layar di depannya bersinar dengan kisah-kisah Abyssinia kuno, di mana kambing, pada suatu waktu, dikatakan telah menemukan efek energi dari buah kopi. Matanya melahap kata-kata itu, pintu gerbang ke masa lalu.

"Ah, Kaldi," bisik Aditya geli dengan legenda penggembala kambing yang kawanan penarinya membawa penemuan kopi. "Sungguh suatu kebetulan yang kamu temui."

Artikel tersebut merinci bagaimana ceri merah ini melakukan perjalanan dari dataran tinggi Etiopia ke biara-biara para biksu, dan akhirnya melintasi lautan luas ke negeri-negeri yang jauh. Setiap kalimat menjalin permadani rumit rute perdagangan, pertukaran budaya, dan kekuatan transformatif dari ramuan gelap ini. Pikiran Aditya dipenuhi kegembiraan saat membayangkan karavan membawa kacang-kacangan yang berharga, melintasi bukit pasir di bawah langit berbintang.

"Dari ritual suci hingga revolusi," gumamnya sambil menelusuri garis waktu dengan tatapannya. "Kopi, kamu memang benang merah dalam selimut umat manusia."

Dia hampir bisa mencium aroma biji kopi panggang di masa lalu, aromanya bercampur dengan dupa dan ambisi. Dengan setiap gulungan, makna kopi semakin bertambah, menjadi simbol wacana intelektual di kafe-kafe Eropa dan saksi bisu lahirnya filsafat modern.

"Kerajaan telah bangkit dan jatuh bersamamu," renung Aditya sambil bersandar di kursinya. Ia merenungkan hubungan mendalam yang dimiliki orang-orang sepanjang sejarah dengan kopi -- sebuah jangkar di masa-masa penuh gejolak, sebuah percikan bagi pikiran yang lelah.

"Mari kita lihat rahasia apa yang dimiliki oleh tanah kita sendiri," katanya sambil berdiri dengan penuh tujuan. Pindah ke dapur, ia mengeluarkan koleksi peralatan pembuatan bir -- mesin press Prancis, AeroPress, dan alat pembuat bir siphon -- yang masing-masing merupakan bukti kecerdikan manusia. Matahari menyinari jendela, menyinari peralatan yang berkilauan dengan cahaya hangat.

"Trial and error, inti dari semua penemuan," Aditya berbicara di ruangan kosong sambil mengukur tanah dengan tepat. Dengan pers Perancis, dia mencari ketangguhan; AeroPress, kejelasan; siphon, teater.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun