Mohon tunggu...
Erica AuliaWidiani
Erica AuliaWidiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Writer - Content Creator - Businesswoman

Nama Lengkap : Erica Aulia Widiani | Seorang mahasiswa, menyukai tulis menulis dan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Terakhir

5 April 2021   09:28 Diperbarui: 5 April 2021   09:54 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh ValeriaLu dari Pixabay

Satu jam sudah Aria duduk di bangku taman bercat putih itu. Sembari memandang langit, seperti menerawang seberapa jauh jarak langit itu dengan dirinya, atau mencoba menghitung bintang-bintang yang berserakan.

Mata gadis itu terlihat berbinar. Senyumnya sama sekali tidak surut sejak tadi. 

Ia selalu membayangkan bisa membuat malam lebih panjang dari biasanya, agar ia tidak perlu bersusah payah menjalin kain-kain untuknya turun dari balkon kamarnya guna pergi ke sebuah taman dekat rumahnya yang sepi. 

Sembari menghirup napas, ia merasakan angin malam menelusuri kulitnya yang perlahan meremang. Menikmati kesunyian dan kelembapan udara yang keluar masuk hidungnya.

"Kamu menyukainya?"

Pemuda yang duduk di sampingnya sejak tadi kemudian bertanya.

"Tepat seperti kamu juga menyukai kegelapan, Dewa."

***

Mereka sangat menyukai keberadaan satu sama lain.  Terlihat dari cara Aria memandang pemuda di sebelahnya dan Dewa (nama pemudai itu) yang beberapa kali membenarkan helai rambut Aria, menyelipkannya di daun telinga gadis itu. Kemudian tangannya turun menggenggam jemari Aria, memberikan kehangatan kecil yang tanpa sadar menjalar ke seluruh badan , bahkan membuat hati gadis itu menghangat.

3 tahun yang lalu, Ayah dan Ibu Aria mengajaknya pindah di rumah yang sekarang ia tempati. Membuatnya harus kembali beradaptasi dengan lingkungan baru, sekolah baru, dan juga pasti teman-teman yang baru. Ia menyadari bahwa adaptasi adalah salah satu hal tersulit dalam hidupnya yang memerlukan usaha lebih. Sebab ia merupakan gadis yang lebih menyukai kesendirian. Keramaian dari suara yang ditimbulkan teman-temannya membuat kepalanya pusing. 

Tapi semuanya berubah di suatu pagi ketika dirinya hendak keluar membersihkan halaman.  Dilihatnya seorang pemuda seumurannya terduduk di seberang jalan, lututnya terluka dan di sampingnya terdapat sepeda kayuh yang rantainya lepas. Aria sedikit gusar saat ingin mendekatinya. Tapi nuraninya untuk menolong mendorongnya berjalan pelan ke arah pemuda itu tanpa sadar.

"Kau tidak apa-apa?"

Pemuda itu mendongak dan sedikit terkejut saat tiba-tiba Aria sudah berada di hadapannya sembari membawa sapu halaman. 

Aria sedikit merasa canggung karena pemuda itu tidak langsung menjawab. Tapi bagaimanapun ia sudah terlanjur berada di sana dan melontarkan pertanyaan. Jadi tanpa menunggu jawaban, Aria membantu pemuda itu berdiri dan membawanya ke rumah.

Pagi itu akhirnya diawali dengan Ayah Aria yang membetulkan rantai sepeda milik pemuda itu dan Ibu Aria yang menuntunnya memasuki rumah untuk ikut sarapan bersama. Tak ada kecanggungan sedikitpun. Semuanya berjalan normal, pemuda itu sangat pandai membaur dengan orang tua Aria. Ketika hendak berpamitan. Dengan senyum lebar yang seperti sulit untuk ditahannya, pemuda itu menjulurkan tangan dan mengatakan, " Aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Dewa. Terimakasih untuk bantuannya. Kalau tidak keberatan, aku ingin mengundangmu untuk datang di taman sebelah besok." 

Aria tanpa ragu menerima uluran tangan pemuda bernama Dewa itu. Mereka lalu berpisah. Dewa pulang dengan sepedanya dan Aria kembali masuk ke rumah, menjalankan aktivitas bersih-bersih di hari minggunya yang sempat tertunda.

Tanpa mereka sadari. Sejak hari itu, mereka menjadi semakin dekat.

***

"Apakah kamu tidak papa harus keluar malam-malam?"

"Aku selalu berusaha menuruni balkon  kamar sepelan mungkin untuk sampai ke sini. Jadi kukira tak akan ada yang memarahiku."

Mereka kembali tertawa.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih empat puluh lima malam, dan lampu-lampu taman lebih terlihat terang sekarang. Beberapa kali ada kendaraan yang lewat. Mungkin orang sibuk yang baru pulang kerja dan ingin lewat jalan yang lebih sepi. Pun begitu, kebisingan sesaat itu sama sekali tak mengganggu Aria dan Dewa. Mereka masih sama-sama menikmati malam yang terasa menyenangkan itu.

Biasanya, baru pukul dua belas malam Dewa akan pamit pulang dengan sepedanya. Sedangkan Aria dengan wajah sumringahnya juga akan kembali ke rumahnya. Lalu dengan perlahan memanjat kain seprai dan kain-kain lainnya yang ia jalin menjadi lebih panjang untuk turun dan kembali naik ke balkon kamarnya. Lalu sebelum tidur, ia akan membongkar jalinan itu dan melipat kain-kain tersebut dengan rapi. Seperti melakukan ritual sebelum pergi tidur.

Keesokan pagi saat ia bangun, Ibunya tak akan menyadari bahwa semalam anaknya baru saja kabur dari rumah untuk beberapa saat.

Walaupun Aria dan Dewa sangat dekat setelah peristiwa pagi itu. Tapi mereka hanya menghabiskan waktu setelah pulang sekolah, atau setelah Aria selesai dari les matematika, atau les bahasa, atau mungkin les pianonya. Dan Dewa selalu dengan sabar menanti itu. Sebab mereka beda sekolah. Aria sekolah di SMA Negeri sedang Dewa di swasta.

"Sekarang kenapa tidak pernah mengajakku keliling naik sepeda lagi?"

Tiba-tiba Aria teringat sesuatu. Dulu, hampir setiap hari Dewa akan mengajaknya berkeliling dengan sepedanya. Melewati gang-gang sempit yang belum pernah Aria ketahui dan bahkan tak akan pernah diketahuinya seandainya Dewa tak mengajaknya. Melewati jalan raya dan sesekali mencoba menyalip pesepeda motor atau mobil yang lewat mendahului mereka. Menyambangi perpustakaan kecil yang didirikan seorang bapak tua di rumahnya sendiri, seorang laki-laki yang hidup dengan puisi di kepalanya. Menyambangi panti sosial untuk mengajak beberapa anak bermain. Tapi entah kenapa, hampir satu bulan terakhir Dewa sudah tak melakukannya lagi. Dia hanya memintanya datang di malam hari untuk menemuinya.

"Datanglah pukul sepuluh malam kalau kau bisa. Kalau tidak juga tak apa." Begitu Dewa bilang,  tepat sehari setelah Dewa tak lagi mengajaknya jalan-jalan lagi.

Walau bagaimanapun juga, Aria tidak bisa mengacuhkan ucapan Dewa. Meskipun ia tahu, Ayah dan Ibunya tak akan mengijinkannya keluar malam-malam. Akhirnya ia mendapatkan ide untuk bisa keluar menemui Dewa di malam hari. Dengan keberanian yang entah datang dari mana, ia diam-diam mengambil kain-kain yang disimpan Ibunya di salah satu lemari di rumah. Menjalinnya hingga menjadi sangat panjang, ujungnya ditalikan pada pagar balkon kamarnya hingga kain-kain tersebut menjuntai ke bawah dan menyentuh tanah. Dengan sangat pelan, Aria turun dengan kain itu. Awalnya ia merasa agak kesulitan, tapi setelah beberapa kali naik turun dengan cara yang sama ia menjadi sangat mahir untuk urusan yang satu ini.

"Ria." Ucap Dewa seperti mengacuhkan pertanyaan yang Aria barusan beri.

"Iya."

Dewa kemudian bangkit. Ia berjongkok di depan Aria yang masih bergeming di atas kursi. Lagi-lagi menggenggam jemarinya, tapi kini lebih erat. Aria bisa merasakan kehangatan yang tak wajar dari sela-sela jari Dewa.

"Mungin ini malam terakhir kamu keluar malam." Lanjut Dewa.

"Kenapa?"

"Aku sudah harus pergi."

"Kenapa? Kemana?"

"Kamu sudah tahu aku akan kemana."

"Lalu aku harus sendirian lagi?"

"Tidak. Kamu bisa mengunjungiku kapan saja kalau kamu mau."

Mata Aria sedikit berair, bagaimanapun ia tidak bisa membantah keputusan Dewa. Ia hanya bisa pasrah saat pemuda itu kembali bangkit, mengelus kepalanya pelan. Lalu sebelum pergi memberinya pelukan dan kecupan di pipi.

Untuk pertemuan terakhir ini. Aria memandang Dewa yang pergi dengan sepedanya hingga tidak nampak lagi di kejauhan. Baru kemudian ia pulang dengan menahan isak yang tidak mau ia keluarkan.

Seperti malam yang sudah-sudah. Setelah berhasil naik ke balkon kamarnya, ia melepas jalinan- jalinan kain yang dipergunakannya, melipatnya rapi dan mengembalikannya ke lemari. Aria lalu menaiki kasurnya dan mulai memejamkan mata. Tanpa sadar air mengalir turun mambasahi bantalnya.

***

Esok paginya Aria bangun. Agak kesiangan dari biasanya. Tapi itu tak masalah, sebab ini hari minggu dan Ibunya tak akan mengomel asal Aria tetap melakukan bersih-bersihnya. Ia sudah melupakan kejadian semalam, seperti raib begitu saja dari pikirannya. Bahkan tak ada bekas air mata yang mengering dari sudut matanya.

"Aria." Tiba-tiba suara Ibunya terdengar dari lantai bawah. Dengan sedikit malas ia menuruni tangga. Sesampinya Aria di dapur, ia mendapati seseorang duduk di meja makan bersama Ibu dan Ayahnya.  Ia tak asing dengan seseorang tersebut, sebab ia sudah mengenal betul siapa dia.

Pagi itu, Ibu Dewa datang ke rumahnya. Memandang Aria dengan keterharuan yang membuncah, yang membuatnya harus menyeka ujung mata beberapa kali. Ia datang mengantarkan undangan untuk keluarga teman anaknya itu. Sambil mengelus kepala Aria pelan, seperti yang dilakukan Dewa semalam ia berucap.

"Datanglah, Nak. Mari kita doakan Dewa setelah empat puluh hari ia tiada."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun