"Kenapa?"
"Aku sudah harus pergi."
"Kenapa? Kemana?"
"Kamu sudah tahu aku akan kemana."
"Lalu aku harus sendirian lagi?"
"Tidak. Kamu bisa mengunjungiku kapan saja kalau kamu mau."
Mata Aria sedikit berair, bagaimanapun ia tidak bisa membantah keputusan Dewa. Ia hanya bisa pasrah saat pemuda itu kembali bangkit, mengelus kepalanya pelan. Lalu sebelum pergi memberinya pelukan dan kecupan di pipi.
Untuk pertemuan terakhir ini. Aria memandang Dewa yang pergi dengan sepedanya hingga tidak nampak lagi di kejauhan. Baru kemudian ia pulang dengan menahan isak yang tidak mau ia keluarkan.
Seperti malam yang sudah-sudah. Setelah berhasil naik ke balkon kamarnya, ia melepas jalinan- jalinan kain yang dipergunakannya, melipatnya rapi dan mengembalikannya ke lemari. Aria lalu menaiki kasurnya dan mulai memejamkan mata. Tanpa sadar air mengalir turun mambasahi bantalnya.
***
Esok paginya Aria bangun. Agak kesiangan dari biasanya. Tapi itu tak masalah, sebab ini hari minggu dan Ibunya tak akan mengomel asal Aria tetap melakukan bersih-bersihnya. Ia sudah melupakan kejadian semalam, seperti raib begitu saja dari pikirannya. Bahkan tak ada bekas air mata yang mengering dari sudut matanya.