"Kau tidak apa-apa?"
Pemuda itu mendongak dan sedikit terkejut saat tiba-tiba Aria sudah berada di hadapannya sembari membawa sapu halaman.Â
Aria sedikit merasa canggung karena pemuda itu tidak langsung menjawab. Tapi bagaimanapun ia sudah terlanjur berada di sana dan melontarkan pertanyaan. Jadi tanpa menunggu jawaban, Aria membantu pemuda itu berdiri dan membawanya ke rumah.
Pagi itu akhirnya diawali dengan Ayah Aria yang membetulkan rantai sepeda milik pemuda itu dan Ibu Aria yang menuntunnya memasuki rumah untuk ikut sarapan bersama. Tak ada kecanggungan sedikitpun. Semuanya berjalan normal, pemuda itu sangat pandai membaur dengan orang tua Aria. Ketika hendak berpamitan. Dengan senyum lebar yang seperti sulit untuk ditahannya, pemuda itu menjulurkan tangan dan mengatakan, " Aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Dewa. Terimakasih untuk bantuannya. Kalau tidak keberatan, aku ingin mengundangmu untuk datang di taman sebelah besok."Â
Aria tanpa ragu menerima uluran tangan pemuda bernama Dewa itu. Mereka lalu berpisah. Dewa pulang dengan sepedanya dan Aria kembali masuk ke rumah, menjalankan aktivitas bersih-bersih di hari minggunya yang sempat tertunda.
Tanpa mereka sadari. Sejak hari itu, mereka menjadi semakin dekat.
***
"Apakah kamu tidak papa harus keluar malam-malam?"
"Aku selalu berusaha menuruni balkon  kamar sepelan mungkin untuk sampai ke sini. Jadi kukira tak akan ada yang memarahiku."
Mereka kembali tertawa.
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih empat puluh lima malam, dan lampu-lampu taman lebih terlihat terang sekarang. Beberapa kali ada kendaraan yang lewat. Mungkin orang sibuk yang baru pulang kerja dan ingin lewat jalan yang lebih sepi. Pun begitu, kebisingan sesaat itu sama sekali tak mengganggu Aria dan Dewa. Mereka masih sama-sama menikmati malam yang terasa menyenangkan itu.