Kendati demikian, tidak ada tanda-tanda keberadaan tubuh Rafan. Polisi maupun warga tidak berhasil menemukan jejak-jejak darah atau potongan tubuh Rafan jika benar teman kami itu dimakan oleh harimau.
Di sisi lain, entah pikiran ini datang dari mana, aku merasa bahwa Ezar ada kaitannya dengan hilangnya Rafan—atau bahkan juga dengan hilangnya Alfiyan.
“Ezar, kamu jujur, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Hah? Maksudnya apa, sih, Sal?” jawab Ezar dengan wajah kebingungan.
“Kamu pasti ada sangkut pautnya kan sama hilangnya Rafan?”
“Apaan sih, Sal, kamu jangan ngaco, deh. Kita ini sekarang lagi pusing, kamu jangan tambah keruh suasana, dong. Pikiranmu itu lagi kacau, Sal!”
Aku tidak menjawab pembelaan Ezar dan memilih untuk langsung ke kamar. Hari ini kegiatan KKN diliburkan. Elia, satu-satunya teman perempuanku yang tersisa, juga sedang dicari oleh warga karena tidak kunjung kembali setelah mandi di kali.
Warga bilang kemungkinan Elia terseret arus sungai. Namun, pada kenyataannya arus sungai saat itu sedang tenang. Aku semakin merasa aneh dengan tempat ini. Bahkan, sekarang aku malah curiga kepada temanku sendiri, Ezar.
Di sisi lain, Pak Rangga belum juga datang ke sini setelah kasus hilangnya Rafan. Pak Rangga sedang mengurus kasus ini ke kampus sekaligus mengabari keluarga Rafan dan Alfiyan. Aku juga mulai curiga, apakah Dito dan Dinda benar-benar sudah pulang ke rumahnya atau malah ikutan menghilang.
Hari ke-28 KKN
Kuambil sebilah pisau dari dapur Pak RT. Aku menatap tajam Ezar yang sedang tertidur pulas. Tanganku gemetar sambil memegang pisau di tangan kananku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menusuk perut Ezar dengan membabi buta. Ezar mengerang kesakitan.