Mohon tunggu...
Erfransdo
Erfransdo Mohon Tunggu... Lainnya - Journalist, Traveler

Penggiat aksara dan penggemar tualang | Chelsea fans

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lentera Para Pemimpi

24 April 2020   21:22 Diperbarui: 24 April 2020   21:20 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hani gak akan pergi kan Kak?" tanyaku sambil mengusap air mataku dengan punggung tanganku. Tidak tahu mengapa air mataku tiba-tiba saja keluar dengan sendirinya.

Kak Maria langsung memelukku erat dengan isak tangisnya. Dengan suara paraunya ia berkata padaku bahwa semuanya akan baik-baik saja, kami hanya perlu mendoakan yang terbaik untuk Hani.

Jam dinding di hadapanku seakan berhenti berdetak. Pelukan Kak Maria selalu mempunyai arti tersendiri. 

***

Aku sandingkan foto ibuku dengan lukisan wajah ibu yang aku ciptakan sendiri. Tidak jauh berbeda, namun hanya matanya saja yang menurutku kurang serupa. Sulit sekali melukiskan mata indah ibuku.

Kak Maria begitu bangga dengan hasil karyaku. Ia tidak bosan-bosannya mengabadikan lukisanku di ponselnya. Ia posting hasil lukisanku ke media sosialnya dengan caption bangganya. Tak kusangka juga banyak sekali yang menyukai lukisanku. Teman-teman Kak Maria di media sosial membanjiri komentar di postingan Kak Maria dengan berbagai pujian untuk lukisanku.

Tidak heran kalau aku berhak menjadi pemenang kompetisi melukis nasional di Jakarta satu minggu yang lalu. Aku merasa tidak percaya ketika namaku dipanggil ke atas panggung untuk menerima hadiah dan penghargaan sebagai juara pertama. Aku mengalahkan ratusan saingan yang ada di Indonesia.

Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berkesempatan untuk memberikan penghargaan padaku di atas panggung. Kebetulan hari itu bertepatan dengan Hari Anak Nasional. Di bawah panggung, Kak Maria tidak kuasa menahan tangis bahagianya melihat aku diberi penghargaan langsung oleh salah satu orang penting di Indonesia ini. Teman-teman "Lentera Para Pemimpi" pun menyaksikan kebahagiaanku.

Saat itu aku sama sekali tidak bisa membendung air mataku yang jatuh. Aku terlampau bingung harus bahagia atau merasa sedih. Tidak ada Hani di antara teman-temanku yang ada di bawah panggung.

Aku sangat menginginkan kehadiran Hani yang telah membantuku dan menyemangatiku untuk terus melukis. Namun Tuhan berkehendak lain, Tuhan telah mengambil Hani. Hani telah beristirahat untuk selama-lamanya.

Aku Yasha, penderita HIV/AIDS yang senantiasa semangat untuk dapat hidup meski terkadang stigma dari masyarakat sering membuatku terpuruk. Namun kini stigma itu tidak lagi dapat mempengaruhiku, biarkanlah mereka menilaiku semau mereka karena sama sekali tidak berpengaruh dalam hidup dan mimpiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun