Jika terlambat saja, tubuhku akan terasa lemas dan drop. Untungnya obat itu sudah tersedia gratis di berbagai layanan kesehatan khusus ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).
Sebelum aku mengenal obat ARV, badanku begitu kurus seperti kekurangan gizi meskipun aku tidak kekurangan makan. Berat badanku turun drastis. Namun berkat obat yang diberikan Kak Maria itu aku mampu hidup seperti orang normal kebanyakan.
"Butuh bantuanku gak?" celetuk Hani padaku yang sedang serius melukis.
Aku hanya menggelengkan kepala. Saat itu aku sedang serius dan tidak ingin diganggu karena hanya tinggal sedikit lagi aku menyelesaikan wajah ibu yang begitu cantik. Hanya tinggal dipoles saja bulu mata dan arsiran di bagian lesung pipitnya.
Tidak lupa aku berikan titik hitam kecil di pipi kanannya, di bawah kantung matanya. Ibuku mempunyai satu tahi lalat di bagian itu. Bibirnya sudah aku warnai dengan warna merah meronanya.
Sedang asyik-asyiknya memoles bulu mata ibu, terdengar suara seperti benda terjatuh di luar kamarku. Aku bergegas keluar dan ternyata Hani sudah tergeletak di lantai.Â
Aku langsung meneriaki Kak Maria yang sedang ada di luar. Kak Maria langsung bergegas menggendong Hani ke dalam angkutan umum. Aku ikut dengan Kak Maria ke rumah sakit. Semoga Hani tidak kenapa-kenapa.Â
***
"Sudah berapa jauh lukisan kamu? Kakak yakin lukisan kamu pasti bagus" sahut Kak Maria sambil merangkul pundakku.
Bukan itu yang aku ingin dengar dari Kak Maria. Aku hanya ingin tahu keadaan Hani di dalam ruangan itu.
"Hey kenapa bengong?" tanya lagi Kak Maria dengan suara yang begitu berat.