Mohon tunggu...
Erfransdo
Erfransdo Mohon Tunggu... Lainnya - Journalist, Traveler

Penggiat aksara dan penggemar tualang | Chelsea fans

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lentera Para Pemimpi

24 April 2020   21:22 Diperbarui: 24 April 2020   21:20 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak aku ditinggalkan oleh ibuku ketika kelas 4 SD, Kak Maria dengan kebesaran hatinya langsung membawaku ke rumahnya. Di sana banyak anak-anak dengan nasib sepertiku. Kak Maria begitu mulia merawat aku dan anak-anak yang lainnya.

Ibuku meninggal karena menyerah dengan penyakit HIV/AIDS nya. Sepuluh tahun lalu ayahku meninggal dengan kasus yang sama. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi setelah ibuku meninggal sebelum Kak Maria datang dalam hidupku.

Sebagai penderita penyakit HIV/AIDS, aku sering dikucilkan dan didiskriminasi oleh masyarakat tempat di mana aku tinggal. Ibu selalu menangis karena melihatku diperlakukan tidak adil oleh orang-orang sekitar. Aku sudah dinyatakan positif mengidap HIV sejak masih dalam kandungan. 

Ayahku adalah mantan pecandu narkoba yang menikah dengan ibuku yang tidak mempunyai riwayat penyakit apa pun. Aku sama sekali tidak bisa memilih ingin dilahirkan di rahim siapa. Tetapi aku tidak bisa marah pada kenyataan.

Meskipun aku hidup dalam stigma negatif masyarakat, namun aku tidak ingin bersedih. Aku sungguh mencintai ibu dan ayah. Mereka adalah satu-satunya yang paling menyayangiku setulus hati di dunia ini.

Kepergian ibu sangat membuatku terpukul. Sempat terbesit dalam benakku bahwa untuk apa aku hidup di dunia ini? Kak Maria yang saat itu merangkulku terus menyemangatiku. Sambil memelukku erat, Kak Maria berkata bahwa masih ada dia dan Tuhan di hidupku. Aku masih berhak untuk hidup dan menikmati hidup ini, apa pun yang terjadi.

***

Hani, sahabatku, selalu setia menemaniku melukis. Dia juga yang selalu menilai lukisanku bagus atau tidak. Jika Hani memuji lukisanku, aku akan membelikan dia ice cream meskipun aku minta uangnya kepada Kak Maria haha. Namun jika Hani menilai lukisanku buruk aku tidak akan mau berangkat sekolah bersama dengannya. Sesederhana itu namun mampu menguatkan persahabatan kami sampai sekarang.

Hani satu umur denganku, hanya terpaut beberapa bulan. Nasibnya sama sepertiku, seseorang yang menjadi "korban" dari orang tuanya. 15 belas tahun dia hidup dengan HIV/AIDS. Ibu dan ayahnya sudah meninggal ketika dia masih balita. Nasibnya lebih buruk dariku.

Aku bersyukur karena aku masih bisa merasakan kasih sayang seorang ibu hingga aku kelas 4 SD. Hani hanya merasakan kasih sayang malaikatnya beberapa tahun saja sebelum ia diasuh oleh neneknya yang kemudian meninggal satu tahun sebelum Kak Maria mendirikan yayasan "Lentera Para Pemimpi".

Di yayasan "Lentera Para Pemimpi" aku tinggal bersama 14 anak lainnya. Dahulu kami masih berjumlah 17 anak, namun dua anak telah meninggal karena menyerah dengan penyakitnya. Di sana kami diberikan pendidikan, pakaian, dan makanan oleh Kak Maria.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun