Kak Maria sering mendapatkan bantuan dana ataupun jasa dari para relawan atau organisasi-organisasi sosial yang ada di Jakarta, Bandung, sampai Bogor. Teman-teman relawan Kak Maria pun cukup banyak. Relawan-relawan itu selalu ikut berkegiatan bersama kami.
Terkadang kami selalu belajar bersama di "Lentera Para Pemimpi" dan sesekali pergi berjalan-jalan keliling ibu kota. Mereka pun sering membawakan makanan-makanan enak untuk kami. Kami sangat senang dengan kegiatan-kegiatan itu, apalagi dengan jalan-jalannya hehe.
Di "Lentera Para Pemimpi", para anak mempunyai mimpinya masing-masing. Kak Maria pun menempelkan kertas-kertas impian kami di ruangan khusus, ada pula di jendela-jendela atau tembok.
Aku, sudah pasti, menuliskan impian menjadi seorang pelukis hebat. Hani bermimpi menjadi dokter. Teman-temanku yang lain ada yang menulis impiannya menjadi arsitek, guru, polisi, pilot, bahkan presiden. Tidak ada yang berhak membatasi mimpi-mimpi kami.
Kak Maria waktu itu pernah bercerita pada kami bahwa mimpinya hanya satu, Kak Maria bermimpi ingin sekali membantu mewujudkan mimpi-mimpi kami yang besar. Sebuah mimpi yang bahkan sama sekali tidak terbesit dalam benakku.
Minggu depan aku harus membuktikan pada Kak Maria bahwa aku bisa menjadi pelukis hebat. Aku harus membanggakannya.
***
Tinggal empat hari lagi waktu yang tersisa untuk aku merampungkan lukisan wajah ibu untuk dikirim ke Jakarta. Penjurian akan langsung dilaksanakan di sana oleh para maestro Indonesia sekaligus menentukan siapa pemenangnya.
"Yasha, kamu sudah makan obatnya?" tanya Kak Maria padaku.
"Sudah kak" jawabku sambil mewarnai rambut ibu.
Hidup dengan mengonsumsi obat seumur hidup memang bukanlah hal yang mudah bagiku. Setiap hari aku harus rutin meminum obat terapi rejimen anti-retroviral (ARV)[1] yang sudah aku konsumsi selama bertahun-tahun agar aku tetap dalam kondisi badan yang sehat dan stabil.