Kau marah padaku aku diam*
Kau maki diriku aku diam
Amarahmu seperti tak terbendung pagi ini. Meluap laksana dam yang jebol tak tertahan desakan air. Semuanya terasa pahit, segala yang terjadi di masa lalu kembali diungkit. Dan aku, hanya bisa meratapi kebodohanku pagi ini. Hanya bisa berujar maaf berkali-kali lalu memilih diam mendengar maki yang bertubi-tubi.
Entah, apa yang membuat pagi ini menjadi halusinasi semuku. Yang aku ingat mimpi tadi malam begitu melenakan, begitu membahagiakan. Hingga saat mentari mengintai, aku mendapati diri telah lebur dalam siang yang membantai. Yang itu berarti aku telah ingkar pada janji telanjur terikrar.
"Hey, lu masih dengar gue kan...?" Suaramu masih terdengar meluapkan emosi. Aku tak menjawab utuh, hanya menggumam. Aku takut. Apabila telah terlontar kata lu dan gue, itu berarti sudah tinggi tingkat amarahmu.
Maki kembali kudapati darimu. Dan aku, kembali diam meratapi pagi ini. Telepon terhenti, mati. Ternyata handphoneku lowbat. Aku panik, maka penderitaanku seperti tak berujung. Entah, hal apa lagi yang aka kudapati darimu. Mungkin lebih dari caci. Aku pasrah.
Jujur, aku tak suka diperlakukan begini. Setiap salah yang kuperbuat, seketika itu kau laknat. Sebaliknya, ketika kau berbuat salah kau tak mau disudutkan, kau merasa benar dari segalanya.
Aku memandang ke luar jendela. Meratapi pagi ini. Meratapi masa lalu. Meratapi kenangan-kenangan yang melaju seperti cuplikan kisah dalam film. Aku terkesima. Aku hanya meratap.
***
Kuakui pertemuan denganmu memang unik. Walaupun keunikan itu telah terendus di film-film bioskop dan beberapa film televisi. Aku bertemu denganmu secara tak sengaja, tepatnya aku yang menemukanmu. Saat aku menunggu seseorang, engkau berada membelakangiku. Aku langsung menyapa, kusangka engkau adalah seseorang yang kutunggu.
Aku malu saat itu. Engkau pun tersenyum, Â mempesonaku. Ah, jika tidak karena senyummu dan wajahmu yang mirip dengan bintang Korea idolaku. Mungkin aku langsung berlalu tanpa kata.
"Song Seun Heon?" gumamku padamu. Engkau terperangah. Bingung..
"Apa? Maksudmu?" Suaramu terdengar, makin melelehkan hatiku. Aku jadi salah tingkah. Cinta telah memburuku begitu dalam. Cinta telah datang tiba-tiba.
"Maaf, aku salah orang!"
Sejak pertemuan tak sengaja itu, kita mulai dekat. Setelah nomor telepon disematkan pada masing-masing. Kita mulai berhubungan, hingga akhirnya kau nyatakan cintamu.
Aku terkesima. Tanpa berpikir panjang, aku menerima. Ini adalah hal yang aku tunggu-tunggu. Apalagi semenjak aku remaja hingga kini, tak ada satu pun pemuda yang pernah menyatakan cinta. Sekalinya ada, itu adalau kau, Song Seun Heonku.
Namun baru berapa hari kita menjalin cinta, engkau sudah banyak mengaturku. Aku harus tampil begini, aku harus bersikap begitu. Semua kau atur sedemikian rupa. Barangkali, karena cinta aku turut. Aku larut. Aku tak mau kehilangan.
Aku tahu kau adalah orang yang perfeksionis, kadang egois. Dan itu bertolak belakang denganku. Meski begitu, kau tak mau tahu. Aku yang harus mengikuti maumu. Jika tidak, amarahmu akan meraja. Makimu akan menjelma hari-hariku. Namun sekali lagi aku patuh, aku tak ingin hubungan kita luruh.
***
Kau tunjuk mukaku aku diam*
Kau hina diriku aku diam
     Â
 Pikiranku tak kembali jernih, meskipun kesiangan, aku harus tetap ke kampus. Mengantarkan laporan yang kubuatkan untukmu. Empat hari lalu kau bilang, ada laporan kunjungan praktik yang tak sempat kau tulis. Kau memintaku untuk membuatkannya. Katamu, kau tak ada waktu.
 Entahlah, cinta memang tak bisa ditebas begitu saja. Saat ia datang, kepala menjadi kaki, akar menjadi dahan, busuk menjadi harum dan salah menjadi sesuatu yang benar.
Aku tahu, laporan kunjungan seyogyanya harus kau kerjakan sendiri. Bukan aku yang menjadi tameng untuk mengerjakannya. Tuhan memang baik memberikan otak encer padaku, sehingga aku tak mengalami kesulitan mengerjakannya. Meski, jujur hatiku enggan melakukannya. Berkali-kali, laporanmu kubuatkan. Kau datang mengandalkan senyummu. Dan aku luluh begitu mudah. Namun, sekali lagi cinta tak dapat ditebas. Cinta tak mengenal logika..
Aku ambil kacamata besarku. Kau selalu melarang aku menggunakannya. Kau bilang, jika aku memakai kacamata besar, aku terlihat sangat tak kekinian. Penampilanku tak seperti gadis pada umumnya.
Akan tetapi, aku tak sempat mencari kacamata kecil yang kau belikan untukku. Bukan membelikan tepatnya, namun menemaniku membelikan. Aku harus segera ke kampusmu. Menemuimu.
Rupanya, jalanan tak memihak jua padaku. Macet tak terelakkan, angkot yang kutumpangi bergerak sangat lambat. Aku merana dalam kutukan yang tak kunjung jeda. Aku mengutuk diri pagi ini. Mengutuk apa yang telah aku lakukan tadi malam. Mengutuk mimpi yang kudapati semalam. Meski mimpi itu membahagiakan.
Apabila menuju kampusmu, aku hanya perlu waktu satu jam. Kali ini, kuhabiskan dua jam. Bajuku yang rapi kini lusuh, rambutku yang terurai pun sudah tak beraturan.
Aku segera menuju ruang jurusanmu. Tak kudapati kau yang biasanya berada di ruang kuliah dekat pohon pinus. Ingin menyampaikan lewat handphone kalau aku sudah di kampus, handphone belum sempat dicas.
Tak selamanya kesialan itu mengungkungku, Rama temanmu datang.
"Eh, Na. Lu dari tadi ditungguin sama Angga." Suara Rama seakan jarum yang menusuk kepanikanku.
"Sekarang, dia di mana?" tanyaku.
"Bareng anak-anak, dia lagi nongkrong di kantin."
Tanpa sempat mengucapkan terimakasih, aku berlari menuju kantin. Dan aku melihatmu, sedang bersenda gurau dengan temanmu...
Aku memanggilmu, sedikit takut. Engkau menatapku, masih ada  amarah. Bahkan seperti ada semburat benci yang terselip di antaranya. Aku menjulurkan laporan kunjungan itu. Namun belum sempat laporan itu berpindah tangan. Amarahmu meledak tak tertahankan.
Kau tunjuk mukaku, mungkin bagimu aku seperti benalu pada dahan-dahan. Makimu kembali memuncak. Tak hanya maki, hina bertubi kuterima. Teman-temanmu tertawa, seperti menghina. Aku terdiam dalam pekat malu penuh prasangka. Lengkap sudah kesialanku hari ini.
Laporan itu kau ambil, kau meninggalkanku bersama teman-temanmu. Menjauh dariku, meninggalkan malu, menanggalkan harga diriku. Aku hanya diam, lalu melangkahkan kaki dengan lunglai tak bertepi.
Oo oh oh oh Sabarnya aku*
Oo oh oh oh Hinanya aku
Â
Aku tak tahu apakah sabar memiliki tapal batas? Apakah sabar harus terus menderas meski malu pun turut di dalamnya? Apakah sabar mengikuti cinta? Sama-sama tak mengenal logika.
 Aku tahu, semenjak pertemuan denganmu hidupku seperti air di daun talas. Tak berarah, mudah terombang-ambing. Aku tahu, semenjak kau menyatakan cinta hingga kita terpaut dalam sebuah hubungan. Sesungguhnya aku tak yakin, sama tak yakinnya aku pada masa laluku. Aku tahu, cinta telah merenggut segalanya. Ketampananmu yang kupikir akan sejalan dengan perilaku tak tampak. Tak ada pengorbananmu padaku.
 Berkali-kali, kau lukai aku. Dan, berkali-kali pula aku memaafkanmu. Aku memaklumi segala alasanmu. Dan entah, aku tak bisa marah saat luka itu telah menganga. Senyummu seperti penawar.
 Barangkali kau malu, aku bukan gadis kebanyakan. Aku tak bisa dipaksa tampil modis seperti yang kau mau. Barangkali, aku hina hingga kau malu dan lebih banyak mengurungku dalam janji semu.
 Aku menatap jendela, kamar. Senja telah datang memberi kabar. Kau memintaku untuk datang malam ini, di sela-sela pesanmu kau selipkan maaf atas kejadian siang itu. Aku masih diam tak membalas. Diam sejenak.
 Aku bergegas, mandi dan memilih pakaian yang pernah kau pilihkan untukku. Rambutku kuurai, kacamata dengan frame masa kini yang kau pilihkan itu kupakai. Aku tampil cantik malam ini. Untukmu...
 Aku tahu cinta tak dapat ditebas. Aku tahu cinta tak mengenal logika. Aku tahu karena cinta, kaki menjadi kepala, akar menjadi dahan, salah menjadi benar, hitam menjadi putih. Dan aku larut karenanya. Meski maki, amarah, malu, hina kuterima. Aku akan mendatangimu, memaafkanmu.
Â
Â
*Lirik lagu Diam dinyanyikan oleh Potret
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H