"Bareng anak-anak, dia lagi nongkrong di kantin."
Tanpa sempat mengucapkan terimakasih, aku berlari menuju kantin. Dan aku melihatmu, sedang bersenda gurau dengan temanmu...
Aku memanggilmu, sedikit takut. Engkau menatapku, masih ada  amarah. Bahkan seperti ada semburat benci yang terselip di antaranya. Aku menjulurkan laporan kunjungan itu. Namun belum sempat laporan itu berpindah tangan. Amarahmu meledak tak tertahankan.
Kau tunjuk mukaku, mungkin bagimu aku seperti benalu pada dahan-dahan. Makimu kembali memuncak. Tak hanya maki, hina bertubi kuterima. Teman-temanmu tertawa, seperti menghina. Aku terdiam dalam pekat malu penuh prasangka. Lengkap sudah kesialanku hari ini.
Laporan itu kau ambil, kau meninggalkanku bersama teman-temanmu. Menjauh dariku, meninggalkan malu, menanggalkan harga diriku. Aku hanya diam, lalu melangkahkan kaki dengan lunglai tak bertepi.
Oo oh oh oh Sabarnya aku*
Oo oh oh oh Hinanya aku
Â
Aku tak tahu apakah sabar memiliki tapal batas? Apakah sabar harus terus menderas meski malu pun turut di dalamnya? Apakah sabar mengikuti cinta? Sama-sama tak mengenal logika.
 Aku tahu, semenjak pertemuan denganmu hidupku seperti air di daun talas. Tak berarah, mudah terombang-ambing. Aku tahu, semenjak kau menyatakan cinta hingga kita terpaut dalam sebuah hubungan. Sesungguhnya aku tak yakin, sama tak yakinnya aku pada masa laluku. Aku tahu, cinta telah merenggut segalanya. Ketampananmu yang kupikir akan sejalan dengan perilaku tak tampak. Tak ada pengorbananmu padaku.
 Berkali-kali, kau lukai aku. Dan, berkali-kali pula aku memaafkanmu. Aku memaklumi segala alasanmu. Dan entah, aku tak bisa marah saat luka itu telah menganga. Senyummu seperti penawar.