Mohon tunggu...
EquaLaws Consultant
EquaLaws Consultant Mohon Tunggu... profesional -

The Counselor II Non partisan II Dalam keadilan, ada kebenaran... #Salam keadilan... ;)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Upah dalam Perspektif Hukum

1 Oktober 2014   16:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:49 1570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


UPAH dalah hal yang krusial dalam hubungan kerja. Upah menjadi salah satu issue yang sering menjadi penyebab rusaknya hubungan harmonis antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Tidak hanya soal upah minimum yang menjadi “pertikaian” rutin tahunan, namun di level mikro (perusahaan) penerapan upah dan hak-hak pekerja/buruh terkait upah juga tidak kalah problematik. Oleh karena itu, penulis mencoba memaparkan upah dalam perspektif hukum. Tulisan ini diharapkan dapat membantu meminimalkan potensi atau konflik pekerja/buruh dan pengusaha yang disebabkan oleh prinsip upah dan penerapannya.


Oleh karena ini adalah perspektif hukum, maka tulisan ini sepenuhnya didasari pada Undang-undang. Selain Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menjadi acuan dalam tulisan ini adalah peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan ketenagakerjaan.


APAKAH UPAH ITU?


Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.


Maksudnya jika sudah ada di dalam perjanjian kerja, maka pembayaran upah dalam perjanjian kerja yang berlaku. Bila sudah dicantumkan di dalam kesepakatan, maka pembayaran upah dalam kesepakatan itu yang berlaku. Namun, jika tidak ada, baik di dalam perjanjian kerja maupun kesepakatan, maka pembayaran upah yang berlaku mengikuti ketentuan pengupahan yang ditentukan oleh undang-undang dalam hal ini tentang upah minimum (termasuk upah minimum sektoral, upah minimum kabupaten/kota dan upah minimum sektoral kabupaten/kota).


APA HAK PEKERJA/BURUH TERKAIT PENGHASILAN?


Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini adalah prinsip dasarnya, yang melindungi pekerja/buruh atas penghasilan untuk memenuhi kehidupan yang layak.


SIAPA YANG MENENTUKAN UPAH?


Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. Dalam hal ini pemerintah propinsi menetapkan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMSP). Sedangkan Pemerintah Kabupaten Kota yang menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Minimum Sekotoral Kabupaten/Kota (UMSK). Adapun UMP, UMSP, UMK dan UMSK adalah berlaku khusus bagi pekerja/buruh lajang yang belum menikah dan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.


Sedangkan bagi pekerja/buruh di perusahaan yang sudah menikah atau telah bekerja lebih dari 1 (satu) tahun di level mikro, penentuan upah ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan serikat pekerja/buruh atau penetapan sepihak oleh perusahaan (dalam hal belum ada serikat pekerja/buruh). Bagi pekerja/buruh tersebut tidak boleh didasarkan hanya pada UMP, UMSP, UMK atau UMSK.


APA SAJA KEBIJAKAN PENGUPAKAN YANG DITETAPKAN PEMERINTAH?


Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh yang ditetapkan pemerintah meliputi:


upah minimum;

upah kerja lembur;

upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

bentuk dan cara pembayaran upah;

denda dan potongan upah;

hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

upah untuk pembayaran pesangon; dan

upah untuk perhitungan pajak penghasilan.


APA DASAR PEMERINTAH MENETAPKAN KEBIJAKAN UPAH MINIMUM?


Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan dua hal, yakni: (1) aspek produktivitas dan (2) aspek pertumbuhan ekonomi.

 

ADA BERAPA JENIS UPAH MINIMUM?


Upah Minumum ada 2 (dua) jenis:


upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;

upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota;


Baik upah minimum berdasarkan wilayah, maupun sektor oleh Pemerintah diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. Urut-urutan keberlakukan upah apakah UMP, UMSP, UMK atau UMSK adalah mana di antara upah minimum tersebut yang diberlakukan dan lebih baik bagi pekerja/buruh. Artinya, jika UMK sudah ditetapkan, dan UMSP pun sudah ditetapkan, maka dilihat mana yang lebih baik nilainya bagi pekerja/buruh.


SIAPA YANG BERWENANG MENETAPKAN UPAH MINIMUM?


Upah Minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.


DI MANA DIATUR KOMPONEN DAN PELAKSANAAN TAHAPAN PENCAPAIAN KEBUTUHAN HIDUP LAYAK?


Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak diatur dengan Keputusan Menteri. Saat ini Menteri Tenaga Kerja telah menerbitkan dan memberlakukan Permenaker Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak


BOLEHKAH PENGUSAHA MEMBAYAR UPAH LEBIH RENDAH DARI UPAH MINIMUM?


Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Tidak boleh pengusaha membayar lebih rendah dari upah minimum. Upah minimum mana, apakah UMP, UMSP, UMK atau UMSK yang dilarang untuk dibayarkan kurang dari ketentuan? Yang dilarang adalah dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum tertinggi yang telah ditetapkan. Apabila di antara 4 (empat) jenis upah itu yang tertinggi dan sudah sudah berlaku adalah UMSP, maka pengusaha dilarang membayar upah kurang dari nilai UMSP.


BAGAIMANA JIKA PENGUSAHA TAK MAMPU MEMBAYAR UPAH MINIMUM?


Jangan dilanggar, namun solusi bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum adalah dapat dilakukan penangguhan. Tata cara penangguhan diatur dengan Keputusan Menteri.

 

Dalam hal pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka pengusaha dapat mengajukan (permohonan izin) penangguhan pelaksanaan upah minimum (vide Pasal 90 ayat [2] UU Ketenagakerjaan jo Pasal 2 ayat [2] Kepmenakertrans No. Kep-231/Men/2003).

 

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, peraturan perundang-undangan sesungguhnya memberi ruang toleransi bagi pengusaha melakukan penangguhan upah minimum. Sungguhpun demikian, harus -memenuhi syarat dan ketentuan serta secara prosedural- dimohonkan oleh pengusaha kepada Gubernur melalui “Disnaker” (setempat) dan mendapat persetujuan.

 

BERAPA KALI PENANGGUHAN UPAH DAPAT DILAKUKAN?


Undang-undang tidak menjelaskan berapa kali hal ini boleh dilakukan. Yang jelas menurut Pasal 5 ayat (1) Kepmenakertrans No. Kep-231/Men/ 2003, persetujuan penangguhan upah minimum ditetapkan oleh Gubernur (SK Gubernur) untuk jangka waktu paling lama 12 (dua) belas bulan.


Selanjutnya, apabila permohonan itu mendapat restu, maka ada 3 (tiga) kemungkinan alternatif persetujuan:


Persetujuan untuk membayar upah minimum sesuai (sama dengan) upah minimum yang lama;


Persetujuan untuk membayar upah minimum lebih tinggi (maksudnya lebih besar) dari pada upah minimum yang lama, tetapi lebih rendah dari upah minimum yang baru; atau


Menaikkan upah minimum secara bertahap, sehingga pada masa yang ditentukan nilainya sama dengan upah minimum yang baru.

 

Jadi secara tegas, persetujuan (izin) penangguhan upah minimum diberikan hanya untuk jangka waktu paling lama 12 (bulan). Artinya, dapat diberikan (izin) penangguhan 12 (dua belas) bulan, atau mungkin juga kurang dari 12 (dua belas) bulan. Selanjutnya, setelah dua belas bulan, apakah pengusaha dapat memohon izin penangguhan lagi terhadap upah minimum yang baru sehubungan dengan terbitnya SK Gubernur mengenai upah minimum yang baru? Hal ini tidak dijelaskan lebih jauh.

 

Oleh karena tidak ada penjelasan, berarti tidak ada larangan bagi pengusaha untuk memohon penangguhan sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan dan dapat dinilai wajar untuk dimohonkan penangguhan, baik berturut-turut atau dengan waktu selang (jeda) setahun atau beberapa tahun.

 

Apakah nantinya permohonan tersebut dapat dipenuhi oleh Gubernur atau tidak, ataukah Gubernur hanya dapat memenuhi sebagian atau secara bertahap, semuanya dinilai oleh Gubernur yang akan memberikan keputusan yang patut dan adil.


BOLEHKAH PENGUSAHA DAN SERIKAT PEKERJA/BURUH MENETAPKAN UPAH LEBIH RENDAH DARI KETENTUAN?


Di level mikro perusahaan penetapan upah dilakukan atas kesepakatan pengusaha dan serikat pekerja/buruh. Akan tetapi pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


APA AKIBAT HUKUM JIKA PENGUSAHA DAN SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH MENETAPKAN UPAH LEBIH RENDAH DARI KETENTUAN?


Dalam hal kesepakatan antara Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


APAKAH STRUKTUR DAN SKALA UPAH ?


Struktur upah adalah susunan tingkat upah dari yang terendah sampai yang tertinggi atau sebaliknya dari yang tertinggi sampai yang terendah. Sedangkan, skala upah adalah kisaran nilai nominal upah menurut kelompok jabatan (pasal 1 Kepmenakertrans No. 49/Men/IV/2004 tentang Struktur dan Skala Upah atau Kepmen 49). 


Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) disebutkan bahwa pengusaha menyusunan struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi kerja (pasal 92 ayat [1] UUK). Perintah ini dipertegas dalam Kepmen 49 bahwa pengusaha menyusun struktur dan skala upah dalam rangka penetapan upah masing-masing pekerja/buruh di perusahaan (pasal 2). 


Jika dicermati penjelasan pasal 92 ayat (1) UUK maka penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah, guna adanya kepastian hukum dalam penentuan upah dan akan mengurangi kesenjangan (gap) antara upah terendah dan tertinggi. Begitu pula, berdasarkan pasal 10 Kepmen 49, Petunjuk Teknis Penyusunan Struktur dan Skala Upah (pada lampiran Kepmen) adalah pedoman (acuan) dalam penyusunan struktur dan skala upah yang dilakukan (disusun) dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi kerja serta dengan mempertimbangkan kondisi (kemampuan) perusahaan. 


Artinya, secara hukum, tidak ada ketentuan yang mewajibkan atau mengharuskan penyusunan struktur dan skala upah dengan pengenaan suatu sanksi tertentu. Sungguh pun begitu, dalam rangka mewujudkan hubungan industrial yang harmoni dan agar supaya ada kepastian hukum dan tidak terjadi gap serta untuk menghindari adanya kecemburuan sosial terstruktur di antara para pekerja/buruh, perlu diatur struktur dan skala upah berdasarkan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi kerja, dengan tidak mengurangi hak pengusaha dalam memberi penghargaan berdasarkan kemampuan perusahaan serta tingkat produktivitas dan kinerja masing-masing pekerja/buruh, serta memberi sanksi kepada pekerja/buruh yang melanggar atau wanprestasi (vide Pasal 92 ayat [2] UUK). 


Jika mengacu kepada azas kebebasan berkontrak boleh saja dilakukan penyusunan struktur dan skala upah (dalam Peraturan Perusahaan/PP atau Perjanjian Kerja Bersama/PKB) tanpa mengacu pada peraturan perundang-undangan, sepanjang dilakukan sesuai dengan mekanisme pembuatan PP atau PKB, yakni adanya saran dan masukan dari pekerja/buruh (dalam PP) atau disepakati di antara para pihak (dalam PKB) dan tetap mengindahkan syarat sahnya perjanjian. 


BAGAIMANA PRINSIP PENINJAUAN UPAH?


Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. Selain kemampuan perusahaan, aspek yang perlu diperhatikan adalah produktivitas.


APAKAH PRINSIP NO WORK NO PAY?


Prinsip "no work no pay" adalah suatu prinsip universal d mana upah tidak perlu dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Artinya, jika tidak ada pekerjaan atau pekerja/buruh tidak bekerja, maka pengusaha tidak perlu membayar upah dan pekerja/buruh tidak berhak atas upah.


APAKAH ADA PENGECUALIAN DARI PRINSIP NO WORK NO PAY?


Ya, ketentuan "no work no pay" tidak mutlak, sebab pengusaha wajib membayar upah walaupun pekerja/buruh tidak bekerja apabila:


a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;

d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;

e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;

g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;

h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan

i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.


APABILA PEKERJA/BURUH SAKIT BERAPA UPAHNYA?


Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit sebagai berikut:


1. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah;

2. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;

3. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah; dan

4. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.


APAKAH ADA KEWAJIBAN PEMBAYARAN UPAH OLEH PENGUSAHA WALAUPUN PEKERJA/BURUH TIDAK SAKIT NAMUN TIDAK BEKERJA?


Ya, Pengusaha tetap berkewajiban membayar upah kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja dalam hal:


pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;

menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan

anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.


Adapun pelaksanaan dari ketentuan ijin meninggalkan pekerjaan dengan tetap mendapatkan upah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.


BERAPAKAH BESARNYA UPAH POKOK YANG DIPERBOLEHKAN?


Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. Tunjangan tetap adalah tunjangan yang tidak terkait dengan kehadiran. Misalnya tunjangan jabatan, tunjangan keluarga dan sejenisnya yang tidak terkait dengan kehadiran.

 

APAKAH PENGUSAHA DAN PEKEJA/BURUH DAPAT MENUNTUT DENDA APABILA ADA KESENGAJAAN ATAU KELALAIAN?


Ya, pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda. Sebaliknya, Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.


BERAPA DENDA KETERLAMBATAN UPAH?


Hal denda ini diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, yang dijelaskan sebagai berikut:


Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung dari hari di mana seharusnya upah dibayar, upah tersebut ditambah dengan 5% (lima persen) untuk tiap hari keterlambatan.


Sesudah hari kedelapan tambahan itu menjadi 1% (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan ketentuan bahwa tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya dibayarkan.


Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayar, maka disamping berkewajiban untuk membayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha diwajibkan pula membayar bunga sebesar bunga yang ditetapkan oleh bank untuk kredit perusahaan yang bersangkutan.


Ketentuan ini bersifat mutlak dan penyimpangan yang mengurangi ketentuan dalam PP ini adalah batal menurut hukum. Maksudnya, jika ketentuan ini disimpangi oleh Pengusaha, melalui SK Direksi, melalui Peraturan Perusahaan (PP), atau melalui Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang disepakati bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh, maka penyimpangannya dianggap tidak pernah ada.


APA HAK PEKERJA/BURUH DALAM HAL PERUSAHAAN PAILIT?


Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Maksudnya, sebelum dijual untuk pihak lain (kreditur), maka hak pekerja/buruh harus dibayarkan terlebih dulu dari hasil penjualan aset-aset perusahaan (terkecuali asset yang sudah dibebankan hak tanggungan atau dijaminkan kepada kreditur preferen).

 

BERAPA LAMA DALUWARSA ATAS KEKURANGAN ATAU KETIADAAN PEMBAYARAN YANG TIMBUL DARI HUBUNGAN KERJA?


Pada awalnya, tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi daluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak. Akan tetapi setelah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ketentuan daluwarsa ini dibatalkan. Artinya tidak ada masa daluwarsa sampai kapanpun juga. Dengan kata lain, dengan tidak adanya masa kadaluwarsa dalam mengajukan tuntutan pembayaran kepada Pengusaha, maka ketentuan ini oleh kalangan pengusaha dianggap mengakibatkan hilangnya kepastian hukum bagi pengusaha sampai kapan akan menghadapi tuntutan hak dari pekerjanya. Hal ini juga dapat mengganggu kelangsungan usahanya. Tetapi karena sudah ditetapkan secara hukum melalui putusan MK, maka mau tidak mau pengusaha perlu selalu membayarkan hak-hak pekerja/buruh tepat jumlah dan tepat waktu. Jika tidak, bukan tidak mungkin akan muncul tuntutan pekerja/buruh di kemudian hari.


Semoga bermanfaat dan salam keadilan... ;)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun