"Gimana hasilnya mas? Ketemu Nurina? Apa katanya?" Widhanto tak sabar menunggu. Gatot tertawa melihat raut wajah adik sepupunya yang tak sabaran ini.
"Sabaaar..... Belum juga duduk tenang, udah main berondong aja...." sahutnya sambil terus tertawa.
"Habiiiss .... Mas Gatot sengaja mengulur-ulur sii," sungut Dhanto.
"Gini ......," Gatot segera memperbaiki posisi duduknya. Ia mengeluarkan sebendel surat yang sama seperti yang ditinggalkannya di rumah Nurina kemarin malam. Sambil menjelaskan kejadiannya panjang lebar, Gatot membukai bendel itu lembar demi lembar. Widhanto mengangguk, tersenyum meski getir.
"Kenapa? Kau menyesal telah mengirimku ke sana?" tanya Gatot menyelidik.
"Entahlah mas. Aku tidak tahu apa harus menyesal ataukah senang ....," jawab Widhanto lesu.
"Masih ada waktu untuk meralat atau membatalkan, Dhanto." Gatot menepuk pundak adik sepupunya. "Menyesal sekarang jauh lebih baik dibanding nanti.
"Tapiiii ...... Aku sudah berjanji pada Nurina. Di sepertiga bulan, aku akan datang untuknya. Mewujudkan mimpi yang pernah kami bicarakan bersama ....."
"Oke. Sekarang mas pamit dulu. Sayekti sudah miscall miscall dari tadi. Kasian dia, kutinggalkan di rumah sendirian." Gatot beranjak sambil meraih kunci mobilnya.
Widhanto mengantar kakak sepupunya hingga ke mobil. Memandanginya hingga mobil itu menghilang di kelokan jalan.
==========