Â
Sambil memegangi pinggangnya yang nyeri menggigit, Widhanto mengeluarkan berkas lain dari laci meja kerjanya. Dibukanya sebuah amplop putih tebal berukuran besar dengan logo salah satu rumah sakit terkenal di Jogja. Dicermatinya satu persatu kertas kertas itu. Meski sudah berulang kali dibaca, tetap saja Widhanto deg-degan karenanya.
Sirosis hati .... gumamnya sambil mengeja. Diingat-ingatnya kapan terakhir kali ia pergi ke rumah sakit untuk medical check up. Tahun kemarin, kemarin dulu atau kapan tahun? Sungguh, ia tak bisa mengingatnya lagi. Rasanya sudah bertahun-tahun yang lalu.
Enam atau tujuh tahun yang lalu, Widhanto pernah menderita penyakit hepatitis. Sepulang dari perjalanan ke Jawa Timur ia ambruk. Tubuhnya panas tinggi, menggigil, keringat dingin, mual, sesekali muntah. Obat penurun panas yang diminumnya tak memberi efek yang memuaskan. Panas tubuhnya hanya mereda sebentar, lalu kembali lagi.
Dokter yang dikunjunginya telah meresepkan obat, yang harus dihabiskannya karena mengandung antibiotik. Namun panas tubuhnya tak kunjung sembuh. Beberapa kali ia harus datang ke laborat, untuk check darah dan urine.
Hasilnya? Ia harus beristirahat total. Nggak boleh makan makanan yang digoreng, mengandung lemak, kurangi garam, gula dan seabrek larangan lainnya.
Opname di rumah sakit? Widhanto tak mau. Ia takut jarum suntik. Ia takut dokter. Sesuatu yang membuatnya jadi bahan olok-olokan bila berkumpul bersama teman-temannya.
Mungkinkah ini akibat dari sakit yang dideritanya dahulu? Pengobatan yang tak sempurna, gaya hidupnya yang berantakan? Atau kah ada sebab lain? Entahlah. Ia tak benar benar mengerti.
"Melamun aja kerjanya .....," sebuah tepukan di pundak membuat Widhanto terlonjak.
"Mas Yudha?" sahutnya riang. Dipeluknya kakak kembarnya ini erat-erat. Seolah ingin dibaginya kesedihan yang disimpannya ini dengan kakaknya.
"Kenapa dengan pinggangmu? Sejak tadi kau pegangi terus ..... Kambuh lagi?" tanya Yudha khawatir.
"Sepertinya ....," jawab Dhanto lesu.