"Yaaaaaa ......," teriak anak-anak bersahutan. Nada gundah dan kecewa mereka terdengar jelas di telingaku. Entah ini kali ke berapa aliran listrik di kompleks perumahan kami padam. Lagi, lagi dan lagi.
"Maaaaa.....," kudengar teriakan mereka saat menghambur ke arah Lydia. Aku menoleh ke arah bocah-bocah kecilku yang merengek ketakutan. Nyala api lilin yang kuletakkan di atas meja di ruang keluarga bergerak-gerak liar ke segala arah. Menimbulkan bayangan benda di dinding yang berubah-ubah.
"Hiiiii..... Maaa .... Takuuutt .....," Hilmy bergidik ngeri. Ia semakin mempererat pelukannya di pinggang ibunya. Lain lagi reaksi Cyria, kakak perempuannya. Ia meleletkan lidahnya pada adiknya. Wajahnya ditekuk sedemikian rupa hingga Hilmy menjerit ketakutan. Cyria terkekeh-kekeh.
Lydia menoleh ke arahku. Tanpa bertanya sepatah kata pun aku sudah tahu apa maunya.
"Maaf ya ma. Pasokan listrik di kota kita memang sedang bermasalah," jawabku pelan. Aku tak mengada-ada. Tiga bulan terakhir ini suasana di kantor terasa seperti di medan pertempuran saja layaknya. Tekanan demi tekanan yang harus dihadapi para pegawai luar biasa besarnya. Sebagai salah satu pekerja di PT PLN, aku sering ikut merasa bersalah bila aliran lisrik tiba-tiba padam seperti kali ini.
"Mama nggak menyalahkan papa kok." Lydia menyentuh lenganku. Seakan ia ingin membesarkan hatiku dengan tindakannya.
"Mama hanya minta tolong, bisakah papa menyulut lilin tiga batang lagi?" pintanya lembut.
"Oooohhh .....," hanya itu yang terlontar dari bibirku.
~**~
Kuraih lepek - piring datar ukuran kecil, biasa dipakai untuk menghidangkan kue - yang tertumpuk rapi di rak alat makan. Segera kunyalakan beberapa batang lilin sesuai permintaan Lydia. "Untuk apa lilin sebanyak ini? Bukankah pemborosan kalau semuanya disulut?" batinku. Kuletakkan lilin lilin itu di meja di ruang keluarga, bersebelahan dengan lilin yang sudah kusulut tadi.
Senyuman Lydia membuat tubuhku memanas. Entah kenapa malam ini dia nampak begitu cantik. Nyala lilin itukah? Atau ... karena aku sedang ingin bermanja-manja dengannya? Entahlah.
"Hilmy, duduk di sebelah sini," pintanya lembut. Tangan kirinya menepuk sisi sofa yang didudukinya. Bocah kecilku beringsut mendekat. Sorot matanya penuh pertanyaan yang tak terucapkan. Kuelus rambutnya, berusaha menenangkannya.
"Kakak Cyria, mau duduk di mana? Di sofa yang itu atau di samping adik?" Lydia diam menunggu. Cyria kebingungan.
"Ayo kakak, pilih yang mana?" Hilmy berteriak tidak sabar. Akhirnya dhenok - sebutan untuk anak perempuan - bergeser ke sofa yang ditunjukkan mamanya. Matanya yang bulat menyorotkan keingintahuan yang besar.
"Naah siippp. Sekarang, papa duduk di sini. Nanti, bantuin mama yaaa .....," isteriku sigap menyodorkan beberapa karton yang sudah diguntingnya menjadi benda-benda lucu ke hadapanku. Entah sejak kapan ia mengerjakannya. Setahuku, Lydia hampir tak pernah mempunyai waktu luang untuk sekedar menggunting atau membuatkan mainan untuk kedua bocah kecil kami.
~**~
"Tumben. Kok Lydia nggak ngomel-ngomel saat listrik padam seperti ini? Biasanya ia mengeluh panjang pendek kalau tiba-tiba lampu mati. Apa yang direncanakannya kali ini?" gumamku tidak percaya. Aku sangat mengenalnya dengan baik. Ia paling tidak suka bila aliran listrik padam. Apalagi bila bak penampungan air lupa diisi, Lydia bisa menggerutu sepanjang hari. Aku tahu, dia tidak bisa jauh jauh dari air. Kedua anakku pun mengikuti kebiasaannya.
Setiap hari Minggu tiba, Lydia akan bermain-main air dengan mereka di halaman. Menyiram tanaman, menyemprot anak-anak dengan air dari slang yang mengucur, membiarkan mereka bereksperimen dengan gundukan tanah dan pasir yang tersedia di sudut halaman. Teriakan dan tawa mereka terdengar riuh rendah memenuhi seantero rumah. Aah, senangnya.
~**~
"Paa .....," tepukan tangan Lydia di pahaku mengagetkanku. Aku terlonjak. Hilmy dan Cyria tergelak-gelak.
"Papa melamun siii .....," protes mereka.
"Hayuuuu ..... sekarang semua duduk manis. Tidak boleh berisik dan dengarkan mama. Akan ada hadiah untuk siapa yang bisa menjawab pertanyaan .....," perintah Lydia tegas.
Jemarinya bergerak-gerak lincah di samping lilin. Dia meminta kami melihat ke arah dinding. Ke arah bayangan yang berubah-ubah sesuai gerakan tangannya.
"Hiiii ..... takut maa .....," Hilmy merajuk. Lydia mengacuhkannya.
Bak seorang pendongeng berpengalaman, Lydia lancar sekali bercerita di hadapan kami. Sesekali ia menoleh ke arahku, meminta bantuan. Ditunjuknya karton yang diinginkannya. Kuulurkan tanpa bertanya. Wajah Lydia bercahaya, bersemu dadu karena cahaya lilin yang berpendar-pendar. Duuh, betapa inginnya aku mentowel pipinya yang kemerahan itu. Tapiiii ..... ada anak-anak. Aku tak ingin mengacaukan konsentrasi mereka menyimak dongeng mamanya.
~**~
"Naah ..... selesai." Lydia meniup nyala dua batang lilin di meja. Tangannya bertepuk-tepuk, menyadarkan kami yang sejak tadi terpesona oleh caranya bercerita.
"Yaaaa ..... mama .....," protes Cyria. "Kok sudah selesai? Lagi seru-serunya niii .....," mulutnya monyong. Mukanya ditekuk-tekuk. Jelek sekali.
Hilmy ikut-ikutan protes. Ia meminta mamanya menyalakan lilin yang ditiupnya tadi, lalu melanjutkan ceritanya. Rengekannya sungguh membuatku bangga pada isteriku.
Lydia bangkit menuju ke dapur. Sambil tersenyum-senyum ia mengulurkan dua batang coklat yang baru saja diambilnya dari kulkas.
"Satu untuk kakak cantik, satu untuk adik ganteng," bujuknya penuh sayang.
"Untuk papa ..... mannaa?" rajukku. Kupasang muka memelas. Lydia tertawa. Disorongkannya pipinya ke arahku, kukecup sekilas. Aku mengerti, ini kode rahasia untukku. Senyumku mengembang tiba-tiba.
~**~
"Yaaaa ..... udah nyalaaaa .....," teriakan Hilmy menyadarkanku yang masih terpesona.
"Jangan berteriak gitu Hilmy," tegur Lydia. "Alhamdulillah .....," sambungnya lagi.
"Alhamdulillah .....," Hilmy menirukan mamanya.
"Naah, sekaraaanngg .......," Lydia sengaja menggantung kalimatnya.
"Cuci kakiiiiii .....," sambung anak-anak hampir berbareng. Mereka segera menghambur ke kamar mandi. Celoteh mereka yang berebutan pasta gigi dan gayung air terdengar hingga ke ruang keluarga. Aku tersenyum, sementara Lydia bergegas menenangkan mereka.
~**~
Riuh rendah celoteh anak-anak sudah tak terdengar lagi. Kutengok ke kamar masing-masing, mereka telah terlelap rupanya. Setelah mencium pipinya satu-satu, aku menutupkan pintu kamar perlahan.
Lydia tengah meletakkan secangkir kopi putih kesukaanku. Sejurus kemudian tangannya cekatan membereskan buku bacaan, koran dan majalah yang berserakan di ruang keluarga.
"Maa ... yuukk...," ajakku halus. Lydia tersenyum lalu mengangguk. Dihabiskannya susu coklat hangat kesukaannya, lalu segera beranjak menuju ke kamar tidur kami.
Kuperiksa pintu dan jendela, memastikan semuanya telah terkunci dengan sempurna.
Sambil melangkah ke kamar, kurasakan debaran di jantungku makin tak beraturan. Tubuhku terasa menghangat, darahku naik hingga ke ubun-ubun. Sesuatu di tubuhku menuntut untuk dipuaskan.
Kamar sudah gelap, dan Lydia berbaring manis di tempat tidur. Kukecup ujung hidungnya yang bangir, lalu kupeluk tubuhnya penuh sayang. Aroma tubuhnya yang wangi semakin menambah 'rasa' dalam dada ini.
~**~
Tiba-tiba ...... Peet. Lampu kembali padam.
"Maaaa ...... Pintu kamar sontak terbuka lebar. Hilmy dan Cyria berlomba menghambur ke arah mamanya. Kerling mata mamanya membunuh nafsuku tiba-tiba.
=====%%%%%%%=====
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H