"Yaaaa ..... udah nyalaaaa .....," teriakan Hilmy menyadarkanku yang masih terpesona.
"Jangan berteriak gitu Hilmy," tegur Lydia. "Alhamdulillah .....," sambungnya lagi.
"Alhamdulillah .....," Hilmy menirukan mamanya.
"Naah, sekaraaanngg .......," Lydia sengaja menggantung kalimatnya.
"Cuci kakiiiiii .....," sambung anak-anak hampir berbareng. Mereka segera menghambur ke kamar mandi. Celoteh mereka yang berebutan pasta gigi dan gayung air terdengar hingga ke ruang keluarga. Aku tersenyum, sementara Lydia bergegas menenangkan mereka.
~**~
Riuh rendah celoteh anak-anak sudah tak terdengar lagi. Kutengok ke kamar masing-masing, mereka telah terlelap rupanya. Setelah mencium pipinya satu-satu, aku menutupkan pintu kamar perlahan.
Lydia tengah meletakkan secangkir kopi putih kesukaanku. Sejurus kemudian tangannya cekatan membereskan buku bacaan, koran dan majalah yang berserakan di ruang keluarga.
"Maa ... yuukk...," ajakku halus. Lydia tersenyum lalu mengangguk. Dihabiskannya susu coklat hangat kesukaannya, lalu segera beranjak menuju ke kamar tidur kami.
Kuperiksa pintu dan jendela, memastikan semuanya telah terkunci dengan sempurna.
Sambil melangkah ke kamar, kurasakan debaran di jantungku makin tak beraturan. Tubuhku terasa menghangat, darahku naik hingga ke ubun-ubun. Sesuatu di tubuhku menuntut untuk dipuaskan.
Kamar sudah gelap, dan Lydia berbaring manis di tempat tidur. Kukecup ujung hidungnya yang bangir, lalu kupeluk tubuhnya penuh sayang. Aroma tubuhnya yang wangi semakin menambah 'rasa' dalam dada ini.
~**~
Tiba-tiba ...... Peet. Lampu kembali padam.