Jemarinya bergerak-gerak lincah di samping lilin. Dia meminta kami melihat ke arah dinding. Ke arah bayangan yang berubah-ubah sesuai gerakan tangannya.
"Hiiii ..... takut maa .....," Hilmy merajuk. Lydia mengacuhkannya.
Bak seorang pendongeng berpengalaman, Lydia lancar sekali bercerita di hadapan kami. Sesekali ia menoleh ke arahku, meminta bantuan. Ditunjuknya karton yang diinginkannya. Kuulurkan tanpa bertanya. Wajah Lydia bercahaya, bersemu dadu karena cahaya lilin yang berpendar-pendar. Duuh, betapa inginnya aku mentowel pipinya yang kemerahan itu. Tapiiii ..... ada anak-anak. Aku tak ingin mengacaukan konsentrasi mereka menyimak dongeng mamanya.
~**~
"Naah ..... selesai." Lydia meniup nyala dua batang lilin di meja. Tangannya bertepuk-tepuk, menyadarkan kami yang sejak tadi terpesona oleh caranya bercerita.
"Yaaaa ..... mama .....," protes Cyria. "Kok sudah selesai? Lagi seru-serunya niii .....," mulutnya monyong. Mukanya ditekuk-tekuk. Jelek sekali.
Hilmy ikut-ikutan protes. Ia meminta mamanya menyalakan lilin yang ditiupnya tadi, lalu melanjutkan ceritanya. Rengekannya sungguh membuatku bangga pada isteriku.
Lydia bangkit menuju ke dapur. Sambil tersenyum-senyum ia mengulurkan dua batang coklat yang baru saja diambilnya dari kulkas.
"Satu untuk kakak cantik, satu untuk adik ganteng," bujuknya penuh sayang.
"Untuk papa ..... mannaa?" rajukku. Kupasang muka memelas. Lydia tertawa. Disorongkannya pipinya ke arahku, kukecup sekilas. Aku mengerti, ini kode rahasia untukku. Senyumku mengembang tiba-tiba.
~**~