Mohon tunggu...
Enggar Murdiasih
Enggar Murdiasih Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Ibu Rumah Tangga

penggemar fiksi, mencoba menuliskannya dengan hati

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[tigapuluhsatuharipuisi]: Tentang Kehilangan dan Rindu yang Menjelma Kenangan

2 Januari 2015   15:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:58 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14201618321889708006

tanggal satu

kugoreskan selarik tinta

hitam memanjang

awal penanda

jeda akan segera melebar

menuju penghujung tahun

tanggal dua

kita hias dengan untai kata

janji tuk bersua

matahari mengaminkannya, kurasa

ia membagi senyum

berbalut sulur sulur hangat

kilaukan titik embun

yang segra mengelana

tanggal tiga

mestikah kubendel lembar lembar rindu

saat jeda yang tercipta

hendak kau lekatkan

tanpa jurang menganga

tanggal empat

kembali kugoreskan

tinta sbagai penanda

kali ini putih kupilih

agar nampak seperti jeda

setitik harap

bak noktah pelengkap

renjana yang kita gambar

di selembar kanvas lapuk

tanggal lima

lembar lembar memori

makin terbingkai

dalam alunan romansa tanpa kata

seandainya asa ini

mampu membalutnya

agar dingin di ujung malam

tak melukainya

tanggal enam

kueja senyum pagi

berkalungkan mendung

basahi kayu penyangga kanvass usang

tempat kau goreskan cerita cerita

tentang hijau dedaun

bunga bunga me layu

dan rumput meranggas

sudah tanggal tujuh

jeda yang tercipta tak halangiku

selesaikan gambaran tentangmu

tentang seraut wajah

tentang lesung di pipi kiri

tentang dagu terbelah

dan tentang tipis bibir

tenang tetapi menghanyut rasa

tanggal delapan

kutambahkan leret warna

dalam baris putih hitam di dinding

agar tak terlewat

hari hari mengantarai

tanggal sembilan

sepertiga bulan hampir terraih

kita masih berkutat dengan rasa

kehilangan kerinduan dan segala entah

sementara waktu tak henti

jejakkan langkah berlari

dan tinggalkan kita di sini

terduduk menahan perih

di persimpangan

antara rindu dan dendam

tanggal sepuluh

genap pula sepuluh jari

sebanyak itu pula goresan putih hitam

temaniku menata hati

asa bukan satu-satunya

elegi tentang cita

dan juga romansa

diantara dua kelepak hati

yang hampir terkoyak

tanggal sebelas

sengaja kusemaikan jarak

tonggak tonggak terpancang

sepanjang sisi jalanan

yang kita susuri tadi malam

entah bilangan ke berapa

goresan putih hitam itu

tertapak di buram dinding

menggenapi hari hari kosong

warnai kepergianmu

tanggal duabelas

hujan semalam

hapuskan tapak jejak

yang sengaja kau tinggal

tanggal tigabelas

kubertanya: "lalu dengan apakah

kuisi potongan puzzle

yang terlarut

bersama hujan"

tanggal empatbelas

sepagi ini kau deraskan tangis

alangi isak yang coba kutepis

menghabiskannya bersama derai hujan

kaburkan sketsa tentang seraut wajah

di kanvass kanvass terbentang

tanggal limabelas

goresan warna tlah menjelma

menjadi larik larik penanda

hitam

putih

berderet berbaris

tlah jauh kita saling melangkah

kau ke sana

aku ke sini

menanti ujung labirin

menjadi pintu sua

kita

tanggal enambelas

tlah separuh waktu berlari tinggalkan jejak

langkah langkah tertatih

tapak tapak berbalut letih

tanggal tujuhbelas

mentari menua

teriknya kalahkan gundah

kening kening membasah

lukisan rindu tak usai

genapkan romansa

tanggal delapanbelas

penyangga kanvass

gelisah dalam tegak

tak jua kurampungkan gambar wajah

tentangmu

tanggal sembilanbelas

hujan membiru

larutkan warna warna sendu

berleleran di palet buram

menjadikannya bercak bercak

tanpa makna

tanggal duapuluh

kristal kristal rindu

kau sorongkan padaku

dalam bejana berhias senyum

'genap dua pertiga bulan

kau sorongkan padaku

dalam bejana berhias senyum

'genap dua pertiga bulan

kita saling melangkah,' tulismu

prasasti lukisan buram

tak saling bertaut

tanggal duapuluh satu

'sekarang atau nanti

atau mesti menunggu

lagi lagi dan lagi,' keluhmu

waktu tak leluasa memberi

ruang dan hawa sepenuh pinta

hanya bayang, buram tanpa arsir

garis garis yang perlahan pudar

tanggal duapuluh dua

sengaja tak kuberi jeda

gores putih hitam

memanjang sedepa

ujung labirin

tak nampak jua

tak kutahu engkau kemana

arah langkah terhalang kabut

tanggal duapuluh tiga

halimun membentang

percikkan rona rona pelangi

saat matahari membagi hangat

meski tirai langit

sesekali berteman rintik

tak halangi timbunan rindu

yang susah payah kukumpul

untukmu

tanggal duapuluh empat

haruskah kukabarkan pada rindu

bait bait renjanaku

merdu bertunas

nyanyikan serenade

tentang hari baru

tanggal duapuluh lima

simphoni beradu, mendayu

nyanyikan gita seirama orkestra

tabir harapan bawakan kisah

tapak jejakmu semakin nyata

tanggal duapuluh enam

tinggal sedikit hari

kita 'kan mengukir petak petak memori

yang rapat tersimpan

tanggal duapuluh tujuh

kanvass kanvass tlah penuh

bergambarkan kisah

berbaur gores gores memanjang

putih

hitam

tanggal duapuluh delapan

aku tlah lelah melangkah

lorong labirin tak janjikan cahaya

hanya isak

hanya sedu di ujung lidah

dan hanya hanya lain

tak terungkap

tanggal duapuluh sembilan

raga tlah tertatih

menuju letih

membawa badan menghela rintih

gerbang di ujung labirin

menyambut sedih

tanggal tigapuluh

terduduk aku di sisi tebing

renjana yang kupilin tak pernah usai

kuanyam menjadi penghangat

saat hujan menderaskan cerita

luka

tanggal tigapuluh satu

karat karat bertanggalan

remahnya kotori ujung gaun

melambai tersapu angin

inikah ujung

penantian akhir dari asa

yang tersemat dari potongan romansa

kisah duka

rindu dendam dan sedu sedan

angkara sesekali hinggap

kau di tebing terjal

dan aku di lembah landai

sendiri menatap harapan

sia sia


=====%%%%%%%=====

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun