Mohon tunggu...
Cerpen

Sepenggal Kisah Zahra

19 Maret 2017   20:41 Diperbarui: 20 Maret 2017   06:00 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

       “Bismillahirahmanirrahim.  Tabaarakalladzii biyadihil mulku wahuwa 'alaa kulli syay-in qadiir…”

      Lantunan ayat Al-Quran dibacakan dengan begitu merdu oleh Zahra. Tangannya dengan terampil meraba permukaan kertas Al-Quran-nya. Ya, Zahra Fatmawati, atau biasa dipanggil Zahra ini adalah seorang tunanetra. Sebuah kecelakaan saat berangkat sekolah lima tahun yang lalu telah membawa gadis berkerudung besar itu pada keadaannya yang sekarang. Selama lima tahun itu juga, belum ada donor yang cocok untuk matanya. Mungkin memang sudah jalan dari Sang Pemilik Alam, itu yang selalu ia tanamkan dalam pikirannya ketika lagi-lagi mendapat kabar bahwa belum ada donor yang cocok.

     “Waqaaluu law kunnaa nasma'u aw na'qilu maa kunnaa fii ash-haabi ssa'iir…”

     Masjid ini masih sepi. Sangat cocok dengan suasana hati Zahra yang ingin menenangkan diri. Pagi ini, saat ia dalam perjalanan ke masjid, ia tak sengaja melewati ibu-ibu yang sedang membicarakan dirinya. Tapi, pernah sekalipun ia marah. Tak ia dengarkan bisik-bisik orang-orang tentang dirinya. Ia tahu, namun ia hanya tersenyum. Umurnya sudah 24 sekarang. Wajar jika banyak orang yang menggunjingkannya karena ia memang belum menikah. Mencoba tersenyum, Zahra melanjutkan bacaannya.

     “KAK ZAHRAAA!!!!” 

     Teriakan itu membuat Zahra  menghentikan kegiatan membacanya. Kepalanya menatap lurus ke depan seolah di depannya ada sebuah objek yang dapat ia lihat. Mendengar langkah kaki yang terdengar seperti orang berlari itu membuat Zahra tersenyum. Rian namanya, anak kecil berusia sekitar tujuh tahun yang baru saja meneriakkan namanya. Hari ini hari Sabtu, dan sudah menjadi kebiasaan bahwa Rian akan datang untuk memberikan sesuatu padanya.

     “Shadaqallahul ‘azhim,” Zahra menggeser tempat Al-Quran yang dipakainya ke samping. Masih melamun, ia memikirkan saat pertama kalinya Rian datang padanya. Ini sudah lebih dari tiga bulan dan bocah kecil itu tidak juga mau mengatakan siapa yang memberinya surat yang selalu ia berikan pada Zahra. Terus seperti itu setiap minggunya. Ia selalu menyimpan surat-surat itu di dalam sebuah map khusus. Sudah sekitar dua belas surat ia terima dari Rian. Tidak perlu khawatir tak bisa membacanya karena tulisan yang ada di kertas tebal dan licin itu sama jenisnya dengan huruf arab di Al-Qurannya. Huruf Braille.

     “Assalamualaikum, ini suratnya,” suara imut Rian membuyarkan lamunan Zahra. Zahra mendongak. Seolah tengah menatap Rian, ia tersenyum. Rian pun menyalami Zahra.

     “Walaikumsalam. Rian masih belum mau memberitahu Kakak, hm?” tanyanya lembut. Tangannya menggapai udara kosong guna mencari wajah Rian. Mengerti, Rian mendekat hingga Zahra dapat menyentuh wajahnya. Menurut, Rian duduk di depan Zahra.

     “Maaf, Kak. Tapi Rian sudah berjanji, jadi nggak boleh diingkari. Nanti kalau Rian berdosa bagaimana? Apalagi ini adalah janji seorang pria sejati,” ungkap Rian tak enak.

     “Ah, iya. Kakak lupa, maafkan Kak Zahra, ya?” Tangan Zahra mengusap kepala Rian sayang. “Tapi, tadi Rian bilang itu adalah janji seorang pria sejati. Siapa yang memberitahu Rian tentang hal itu?”

     Pertanyaan tak terduga Zahra membuat Rian bingung sendiri harus jawab apa. Dia tidak bisa berbohong. Untunglah ibunya datang tepat waktu.

     “Rian, ayo pulang, Nak,” suara asing nan lembut itu memasuki gendang telinga Zahra. “Assalamualaikum, kamu pasti Kak Zahra, ya?”

     “Walaikumsalam. Iya, saya Zahra. Bagaimana Anda bisa tahu?” Tanya Zahra bingung. Matanya memandang kosong ke depan. Pasalnya ia benar-benar tidak mengenali suara lembut perempuan yang kini ikut duduk di sampingnya itu. Dari suara yang didengarnya sepertinya perempuan itu mengambil Rian ke pangkuannya.

     “Jangan terlalu formal. Aku Andini, ibu Rian. Kau bisa memanggilku Kak Andin, jika kau mau,” jelas Andini lembut. “Dan aku tahu tentangmu tentu saja dari Rian. Kau tahu dia banyak bercerita tentangmu”.

     “Ah, benarkah? Anda sangat beruntung karena mempunyai anak seperti Rian, dia anak yang baik,” tutur Zahra tak kalah lembut.

     “Sudah kubilang panggil aku Kakak,” balas Andini sedikit gemas. Zahra tersenyum kikuk namun juga senang. Sepertinya ia akan punya teman baru. “Lagipula aku hanya berbeda empat tahun darimu”.

     “Ah, iya K-Kak Andin?” 

     “Bunda, katanya udah mau pulang?” suara lucu Rian memutuskan percakapan dua wanita cantik itu.

     “Ah, iya maaf Bunda lupa,” ucap Andini panik. “Pamanmu juga sudah menunggu. Zahra, maaf ya, kami ada acara keluarga hari ini. Dan lagi, jangan terlalu formal, ya? Kami pergi dulu, ya. Assalamualaikum”.

     “Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab Zahra lembut. Kedua orang itu pun pergi meninggalkan Zahra seorang diri. Zahra tersenyum, ia punya teman baru. Tangannya meraba surat yang diberikan Rian tadi.

     ‘Siapa?’

     Mengabaikan rasa penasarannya, Zahra pun membuka surat itu. Tangannya mulai meraba-raba permukaannya. Sesaat ia terkejut karena untuk pertama kalinya pemberi surat itu menyapanya lebih lama, tapi akhirnya, setelah membaca kisah dalam surat itu, ia tersenyum. Namun, di akhir surat, Zahra termenung. Wajahnya tampak sendu, meski terdapat gurat kebahagiaan di sana. Seolah kebahagiaan itu harus terhapus oleh sesuatu dengan paksa.

     Adzan Zhuhur telah berkumandang. Orang-orang mulai berdatangan guna mencari ridha Illahi. Zahra mengusap air matanya lembut, berusaha menghilangkan isak tangisnya. Ia sungguh tak menyangka dengan semua ini. Menggunakan tongkatnya, Zahra berjalan ke tempat wudhu perempuan yang sudah sangat dihapalnya. Beberapa orang membantunya, ia tersenyum penuh rasa terima kasih. Sebagian dari mereka adalah yang tadi sempat menggunjingkannya. Ia tersenyum lagi.

     ‘ Tuh kan, mereka itu sebenarnya baik.’

     “Nak Zahra, kapan nikah?” tanya salah satu ibu-ibu di tempat wudhu. “Ningsih saja sudah punya hampir dua anak, lho.”

      Ningsih adalah temannya semasa SMA dulu. Ah, iya Ningsih memang sudah menikah sekitar satu setengah tahun yang lalu dan saat ini ia sedang mengandung anak keduanya. Kali ini bukan senyum manis yang ditampilkan Zahra. Ia tersenyum pahit. Senyuman yang tidak sampai pada matanya yang memandang kosong. Tentu saja, memangnya siapa yang mau dengan tunanetra sepertinya?

     “Doakan saja ya, Bu Nia,” suara lembut nan tegas itu menyelamatkan Zahra. Bunda!. “Assalamualaikum, mari kita wudhu sebentar lagi iqamah. Jangan sampai ketinggalan shalat berjamaah hanya karena ngobrol.”

     “Walaikumsalam,” jawab semua orang di tempat wudhu itu sambil mengangguk, lalu melanjutkan wudhu mereka. Ibu Zahra—Bu Lita— memang dikenal sebagai pribadi yang bijak. Beliau termasuk dihormati oleh warga di desanya. Bahkan, tadi Bu Nia sempat meminta maaf sebelum akhirnya berbalik untuk mengantri wudhu.

     Tempat wudhu itu tidaklah luas, tetapi bentuknya memanjang. Di depan setiap kerannya ada tempat duduk yang terbuat dari batu besar yang dibentuk sedemikian rupa hingga berbentuk persegi dan bisa digunakan untuk duduk saat berwudhu. Selain untuk mempermudah orang-orang sepuh dalam berwudhu, bentuk tempat wudhu yang seperti itu juga membantu orang seperti Zahra.

     “Ibu, terima kasih,” ujar Zahra menunduk. Wajahnya nampak sendu. Kepalanya mendongak ketika dirasakannya elusan lembut di bahu kirinya.

     “Tidak usah begitu. Hei, ibu ini ibumu, Nak,”canda Bu Lita menoel pelan hidung Zahra. Keduanya pun tertawa. “Nah, sekarang ayo wudhu.”

     Bu Lita membimbing Zahra ke tempat wudhu. Setelah memastikan anak satu-satunya itu sudah duduk dengan benar, Bu Lita mengambil tempat di samping putrinya. Dipandangnya sendu wajah cantik putrinya. Ia sangat menyayangi Zahra. Selama lima tahun ini pula ia selalu berusaha mencarikan donor yang tepat untuk mata Zahra, tapi nihil. Hingga saat ini belum ada satu pun yang cocok.

     ‘Semoga kebahagiaanmu segera datang, Nak. Ibu menyayangimu.’

     Shalat Zuhur hari itu terasa lebih bermakna bagi Zahra. Orang-orang sudah pulang lebih dulu. Begitupun ibunya yang tadi mengajaknya pulang. Ia hanya ingin sendiri. Biarkan ia sendiri di masjid ini. ia bersama Allah. Pipinya sudah basah karena air mata. Badannya begetar meluapkan tangis yang sedari tadi ditahannya. Terlintas kembali isi surat yang dibawakan Rian hari ini. Tangisnya makin deras, namun tak terisak. Hanya tubuhnya yang bergetar hebat.

     “Ya Allah, hamba menyerahkan semuanya kepada—Mu,” ucapnya tergugu. Zahra tidak tahu jika ia tidak sendirian di masjid itu. Di sana, sekitar sepuluh meter darinya, tertutup oleh pembatas antara laki-laki dan perempuan, seorang pria telah mengucapkan kalimat yang sama. Di saat yang sama. Di atas langit masjid itu pula, tak kasat mata, ribuan malaikat mengamini doa keduanya.

     ‘Ya Allah, apapun yang terjadi hari ini, surat itu, hamba menyerahkan semuanya kepada—Mu…’

     Zahra pulang dengan suasana hati yang lebih baik. Ia lega telah mengatakan semuanya pada Allah. Tak ada lagi ketakutan untuk pulang seperti yang dirasakannya tadi. Bukan, bukan takut yang seperti itu. Ia hanya takut kecewa. Ia tahu sesuatu telah menunggunya di rumah. Tapi, ia tak mau menebaknya itu apa. Yang jelas, jantungnya berdebar.

     “Assalamualaikum,” ucapnya begitu memasuki pelataran rumah. Suaranya yang begitu lembut tak membuatnya tak terdengar hingga ke dalam.

     “Walaikumsalam,” jawaban serempak dari beberapa orang membuatnya mengernyit bingung. Ia semakin bingung ketika ibu membawanya ke dalam kamarnya dengan cepat.

     “Kamu di sini dulu, tidak baik bertemu terlalu lama selama belum mukhrim,” nasihat ibunya membuat Zahra mengernyitkan dahi. Zahra ingin bertanya, namun ibunya sudah pergi. Baru ia ingin menyusul, pintu kamarnya kembali terbuka. Dari suara langkahnya, Zahra tahu itu ibunya. 

     “Ini, baca,” kata ibunya menyerahkan sebuah kertas di tangannya. “Awalnya Ibu juga tidak percaya, tapi ketahuilah, Nak, orang itu tulus.”

     Meski bingung, dibukanya lipatan kertas itu hingga ia bisa membacanya. Tangannya meraba-raba tulisan yang begitu dikenalinya itu. Tulisan yang selama tiga bulan ini selalu membuatnya dilanda gundah gulana. Tulisan yang mengajarinya banyak hal. Lagi, untuk hari ini Zahra kembali menangis. Namun, kali ini berbeda. Ia bahagia. Rasa tak pantas dicintai yang sedari tadi menggelayuti pikirannya sirna. Ya Allah, ia hanyalah gadis buta. Namun, kata-kata orang itu dalam suratnya membuat hati Zahra menghangat.

     “Dia kemari?” pertanyaan itu muncul begitu saja tanpa bisa dicegah. Sang ibu mengangguk. Namun, sedetik kemudian ia ingat bahwa anaknya adalah seorang tunanetra.

     “Ya. Ayahmu bahkan memandangnya sangat tajam sekedar untuk membuatnya takut,” ceritanya geli. Zahra ikut tersenyum lucu. “Tapi dia sangat teguh pendirian hingga akhirnya ayahmu lah yang mengalah. Nak, dia menerimamu apa adanya. Tapi ini tak hanya berlaku padanya. Terima juga dirimu dan dirinya apa adanya.”

      Zahra mengangguk. Kedua wanita itu berpelukan erat. Berbagi kebahagiaan yang ada di depan mata.

      “Jadilah istri yang baik, ya?” 

    Zahra mengangguk malu.

    Assalamualaikum, Zahra.

     Untuk pertama kalinya aku menulis namamu di antara semua suratku. Aku pun begitu. Untuk pertama kalinya, aku akan menyebutkan namaku di sini. Namaku Ilham Kurniawan. Kali ini aku takkan bercerita kisah nabi lagi. Aku akan menceritakan kisahku sendiri.

     Saat SMA, aku selalu pulang paling akhir karena aku adalah ketua OSIS. Tapi, di tahun ketigaku, aku menemukan fakta bahwa ada orang lain yang pulang akhir sama sepertiku. Kami bertemu secara tidak sengaja saat sama-sama keluar dari mushola. Ternyata dia adik kelasku, tingkat satu. Kepalanya langsung menunduk sesaat setelah melihatku. Itu adalah pertemuan pertama kami, dan mungkin yang terakhir. Aku sendiri yang membuatnya menjadi terakhir karena aku mulai takut dengan diriku yang entah mengapa selalu gelisah ketika mengingat gadis itu. Aku melakukan shalat istikharah berkali-kali hingga mendapatkan sebuah jawaban yang cukup untuk menjawab semua pertanyaanku. Aku mencintai gadis itu. Namun, aku diam. Mungkin juga gadis itu sudah melupakanku. Tiap aku memikirkannya, hatiku akan berdebar. Segera jika sudah begitu aku akan memohon ampunan pada Allah karena merasa telah menduakannya. Kemudian aku sibuk dengan ujian kelulusanku. Aku lulus tepat pada waktunya. Berbekal ingatanku akan wajahnya, aku masuk ke universitas. Dua tahun kemudian, aku ke sekolah lamaku. Saat itu adalah saat paling memberatkan bagiku dan yang pasti bagi gadis itu. Hari itu adalah hari terakhirnya ujian kelulusan, tapi kecelakaan itu justru terjadi. Gadis itu kehilangan pengelihatannya terhadap warna. Ya, hanya warna karena aku yakin hatinya masih dapat melihat. Lalu, tanpa bertanya tentang keadaannya, aku berbalik pergi. Aku menata kehidupanku agar aku mapan. Aku ingin melindungi gadis itu. Gadis yang meskipun sudah hampir tujuh tahun, wajahnya dalam ingatanku tetap sama.

     Gadis itu kamu, Zahra. Entah bagaimana aku mengungkapkannya, aku pun tak tahu. Aku adalah paman Rian. Bocah kecil itu sangat menyukaimu, kau tahu? Aku yang tak pernah berani melihatmu, meski dari jauh sekalipun, selalu menjadi pendengar setianya ketika bercerita tentang dirimu.

     Zahra, aku telah mengatakan semuanya padamu. Kini, dengan surat ini, tetap berasaskan Islam, maukah kamu berbagi kebahagiaan bersamaku? Membagi dukamu. Jangan berpikir bahwa kau tak pantas untukku karena aku mencintaimu bukan karena fisik dan kondisimu. Cinta yang murni ini, insyaAllah, telah mendapat restu dan ridha—Nya. Seluruh keluargaku juga sudah setuju, tinggal begaimana dirimu. Aku tak pernah memaksamu, Zahra. Cinta tak pernah bisa dipaksakan. Lebih baik kamu shalat istikharah sebelum memutuskan semuanya. Ingat, Allah selalu menjadi yang paling tahu apa yang terbaik untuk hamba—Nya.

      Wasalamualaikum… Ilham Kurniawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun