Mohon tunggu...
Cerpen

Sepenggal Kisah Zahra

19 Maret 2017   20:41 Diperbarui: 20 Maret 2017   06:00 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Bu Lita membimbing Zahra ke tempat wudhu. Setelah memastikan anak satu-satunya itu sudah duduk dengan benar, Bu Lita mengambil tempat di samping putrinya. Dipandangnya sendu wajah cantik putrinya. Ia sangat menyayangi Zahra. Selama lima tahun ini pula ia selalu berusaha mencarikan donor yang tepat untuk mata Zahra, tapi nihil. Hingga saat ini belum ada satu pun yang cocok.

     ‘Semoga kebahagiaanmu segera datang, Nak. Ibu menyayangimu.’

     Shalat Zuhur hari itu terasa lebih bermakna bagi Zahra. Orang-orang sudah pulang lebih dulu. Begitupun ibunya yang tadi mengajaknya pulang. Ia hanya ingin sendiri. Biarkan ia sendiri di masjid ini. ia bersama Allah. Pipinya sudah basah karena air mata. Badannya begetar meluapkan tangis yang sedari tadi ditahannya. Terlintas kembali isi surat yang dibawakan Rian hari ini. Tangisnya makin deras, namun tak terisak. Hanya tubuhnya yang bergetar hebat.

     “Ya Allah, hamba menyerahkan semuanya kepada—Mu,” ucapnya tergugu. Zahra tidak tahu jika ia tidak sendirian di masjid itu. Di sana, sekitar sepuluh meter darinya, tertutup oleh pembatas antara laki-laki dan perempuan, seorang pria telah mengucapkan kalimat yang sama. Di saat yang sama. Di atas langit masjid itu pula, tak kasat mata, ribuan malaikat mengamini doa keduanya.

     ‘Ya Allah, apapun yang terjadi hari ini, surat itu, hamba menyerahkan semuanya kepada—Mu…’

     Zahra pulang dengan suasana hati yang lebih baik. Ia lega telah mengatakan semuanya pada Allah. Tak ada lagi ketakutan untuk pulang seperti yang dirasakannya tadi. Bukan, bukan takut yang seperti itu. Ia hanya takut kecewa. Ia tahu sesuatu telah menunggunya di rumah. Tapi, ia tak mau menebaknya itu apa. Yang jelas, jantungnya berdebar.

     “Assalamualaikum,” ucapnya begitu memasuki pelataran rumah. Suaranya yang begitu lembut tak membuatnya tak terdengar hingga ke dalam.

     “Walaikumsalam,” jawaban serempak dari beberapa orang membuatnya mengernyit bingung. Ia semakin bingung ketika ibu membawanya ke dalam kamarnya dengan cepat.

     “Kamu di sini dulu, tidak baik bertemu terlalu lama selama belum mukhrim,” nasihat ibunya membuat Zahra mengernyitkan dahi. Zahra ingin bertanya, namun ibunya sudah pergi. Baru ia ingin menyusul, pintu kamarnya kembali terbuka. Dari suara langkahnya, Zahra tahu itu ibunya. 

     “Ini, baca,” kata ibunya menyerahkan sebuah kertas di tangannya. “Awalnya Ibu juga tidak percaya, tapi ketahuilah, Nak, orang itu tulus.”

     Meski bingung, dibukanya lipatan kertas itu hingga ia bisa membacanya. Tangannya meraba-raba tulisan yang begitu dikenalinya itu. Tulisan yang selama tiga bulan ini selalu membuatnya dilanda gundah gulana. Tulisan yang mengajarinya banyak hal. Lagi, untuk hari ini Zahra kembali menangis. Namun, kali ini berbeda. Ia bahagia. Rasa tak pantas dicintai yang sedari tadi menggelayuti pikirannya sirna. Ya Allah, ia hanyalah gadis buta. Namun, kata-kata orang itu dalam suratnya membuat hati Zahra menghangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun