Mohon tunggu...
Cerpen

Sepenggal Kisah Zahra

19 Maret 2017   20:41 Diperbarui: 20 Maret 2017   06:00 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     ‘Siapa?’

     Mengabaikan rasa penasarannya, Zahra pun membuka surat itu. Tangannya mulai meraba-raba permukaannya. Sesaat ia terkejut karena untuk pertama kalinya pemberi surat itu menyapanya lebih lama, tapi akhirnya, setelah membaca kisah dalam surat itu, ia tersenyum. Namun, di akhir surat, Zahra termenung. Wajahnya tampak sendu, meski terdapat gurat kebahagiaan di sana. Seolah kebahagiaan itu harus terhapus oleh sesuatu dengan paksa.

     Adzan Zhuhur telah berkumandang. Orang-orang mulai berdatangan guna mencari ridha Illahi. Zahra mengusap air matanya lembut, berusaha menghilangkan isak tangisnya. Ia sungguh tak menyangka dengan semua ini. Menggunakan tongkatnya, Zahra berjalan ke tempat wudhu perempuan yang sudah sangat dihapalnya. Beberapa orang membantunya, ia tersenyum penuh rasa terima kasih. Sebagian dari mereka adalah yang tadi sempat menggunjingkannya. Ia tersenyum lagi.

     ‘ Tuh kan, mereka itu sebenarnya baik.’

     “Nak Zahra, kapan nikah?” tanya salah satu ibu-ibu di tempat wudhu. “Ningsih saja sudah punya hampir dua anak, lho.”

      Ningsih adalah temannya semasa SMA dulu. Ah, iya Ningsih memang sudah menikah sekitar satu setengah tahun yang lalu dan saat ini ia sedang mengandung anak keduanya. Kali ini bukan senyum manis yang ditampilkan Zahra. Ia tersenyum pahit. Senyuman yang tidak sampai pada matanya yang memandang kosong. Tentu saja, memangnya siapa yang mau dengan tunanetra sepertinya?

     “Doakan saja ya, Bu Nia,” suara lembut nan tegas itu menyelamatkan Zahra. Bunda!. “Assalamualaikum, mari kita wudhu sebentar lagi iqamah. Jangan sampai ketinggalan shalat berjamaah hanya karena ngobrol.”

     “Walaikumsalam,” jawab semua orang di tempat wudhu itu sambil mengangguk, lalu melanjutkan wudhu mereka. Ibu Zahra—Bu Lita— memang dikenal sebagai pribadi yang bijak. Beliau termasuk dihormati oleh warga di desanya. Bahkan, tadi Bu Nia sempat meminta maaf sebelum akhirnya berbalik untuk mengantri wudhu.

     Tempat wudhu itu tidaklah luas, tetapi bentuknya memanjang. Di depan setiap kerannya ada tempat duduk yang terbuat dari batu besar yang dibentuk sedemikian rupa hingga berbentuk persegi dan bisa digunakan untuk duduk saat berwudhu. Selain untuk mempermudah orang-orang sepuh dalam berwudhu, bentuk tempat wudhu yang seperti itu juga membantu orang seperti Zahra.

     “Ibu, terima kasih,” ujar Zahra menunduk. Wajahnya nampak sendu. Kepalanya mendongak ketika dirasakannya elusan lembut di bahu kirinya.

     “Tidak usah begitu. Hei, ibu ini ibumu, Nak,”canda Bu Lita menoel pelan hidung Zahra. Keduanya pun tertawa. “Nah, sekarang ayo wudhu.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun