Tidak terasa aku sampai didekat rumahnya, saat itu aku melihatnya berboncengan dengan pria. Motorku sampai berhenti mendadak.
Aku melihatnya tertawa lebar saat membonceng pada motor tua keluaran tahun sembilan pulunan. Jelas, kalah pamor dengan motor sportku yang gagah.
Namun, pemilik motor tua itu mampu mengalahkanku. Dan, aku bahkan tidak berdaya untuk mengejarnya dan menarik paksa wanita itu.
Secara fisik, jelas akulah pemenangnya. Kalah telak pria itu. Tapi, lagi-lagi dia mampu mengalahkanku.Â
Bahkan kulihat tangannya mengalung dipinggang pria itu. Dan, kulihat mereka seperti sedang saling berbicara. Sesekali wanitaku tertawa mesra.
Ah, aku tidak cemburu. Aku hanya tidak bernyali saja dan iri. Kuputuskan untuk mengikutinya. Kecepatan motor tua itu tidak seberapa, membuatku pegal diatas tungganganku.
Rasanya lama sekali hingga motor tua itu, berhenti didepan gerbang sekolah kami. Aku berhenti tepat dibelakang motor tua itu.
Aku turun dari motor sportku dan memberanikan diri menyapa wanita yang baru saja turun dari boncengannya.Â
"Lho, barengan kita." Sapanya ramah padaku. Kemudian fokusnya kembali teralih pada pria yang masih berada diatas motor. Ah, sial memang.
"Aku sekolah, Pak." Ucapnya seraya mencium punggung tangan  Bapaknya.
Aku yang canggung hanya melempar senyum sambil sedikit menundukan kepala.