Mohon tunggu...
Endah Suyarini
Endah Suyarini Mohon Tunggu... Lainnya - Saya bekerja dari subuh hingga malam hari. Jabatan saya sebagai seorang istri dan ibu. Disebuah perusahaan rumah tangga.

Saya suka menulis dan membaca, terutama tentang gosip viral. Selain itu juga mengisi waktu dengan bermain brick blok dan merecoki anak yang sedang main. Paling suka lagi adalah rebahan. Sekedar menikmati kipas angin didaerah panas ini, sambil mendengarkan cerita horor lewat aplikasi merah, atau membaca novel-novel fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Aku Mencintai Kamu Tidak

26 Maret 2024   15:34 Diperbarui: 26 Maret 2024   15:36 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Hari ini dimulai dengan sesuatu yang baik. Bagaimana tidak, aku yang biasanya bangun setelah ayam jago mengomel dan mengoloku karena kalah cepat dengan matahari. Kali ini, aku lebih cepat dari ayam jago. Akulah yang membangunkan ayam jago yang terlelap dikandanganya dengan alarm.

Aku membersihkan badan tanpa perlu ibu meneriakiku seperti biasanya. Menghabiskan sarapanku dengan lahap. Ibu sampai terpukau dengan keajaibanku hari ini.

"Tumben." Ucapnya sembari netranya menelisikku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Aku hanya tersenyum tanpa berkomentar.

"Aku berangkat, Bu." Pamitku seraya mencium takjim punggung tangan ibuku.

Setelah pamit dan mendapat doa restu dari ibu, gegas aku menunggangi kuda besiku. 

Dengan senyum sumringah yang memamerkan barisan gigi yang rapi, aku menuju rumahnya.

Rumah seorang wanita yang sudah memporak-porandakan idealismeku tentang wanita.

Wanita ideal adalah yang memiliki kulit putih bak porselen, postur tubuh tinggi dengan rambut hitam panjang, serta memiliki mata bulat dan berhidung mancung, berbibir tipis merah merona. Ditambah, tutur kata yang lembut yang setiap dia membuka suaranya terdengar seperti alunan lagu yang merdu.

Ah, semua buyar saat mengenalnya. Dia tinggi dan berkulit kuning langsat. Hidungnya biasa saja dan matanya tidak bulat. Suaranya tidak lembut sama sekali malah saat bernyanyi terdengar fals. Dia, senang tertawa, memamerkan gingsulnya. Rambutnya pendek model edgy bob hair.

Tapi, dia mempu membuatku terpesona dengan selera humornya dan kepintarannya. Dengan, kebaikannya yang tidak sengaja aku lihat. Beberapakali aku melihatnya memberi makan beberapa ekor kucing liar dan memberi sejumlah uang pada yang membutuhkan. Padahal aku sering memergokinya tidak jajan dikantin sekolah. "Diet." Alasannya. Tapi, saat melihat apa yang dilakukannya sepertinya dia punya alasan lain yang disembunyikan.

Tidak terasa aku sampai didekat rumahnya, saat itu aku melihatnya berboncengan dengan pria. Motorku sampai berhenti mendadak.

Aku melihatnya tertawa lebar saat membonceng pada motor tua keluaran tahun sembilan pulunan. Jelas, kalah pamor dengan motor sportku yang gagah.

Namun, pemilik motor tua itu mampu mengalahkanku. Dan, aku bahkan tidak berdaya untuk mengejarnya dan menarik paksa wanita itu.

Secara fisik, jelas akulah pemenangnya. Kalah telak pria itu. Tapi, lagi-lagi dia mampu mengalahkanku. 

Bahkan kulihat tangannya mengalung dipinggang pria itu. Dan, kulihat mereka seperti sedang saling berbicara. Sesekali wanitaku tertawa mesra.

Ah, aku tidak cemburu. Aku hanya tidak bernyali saja dan iri. Kuputuskan untuk mengikutinya. Kecepatan motor tua itu tidak seberapa, membuatku pegal diatas tungganganku.

Rasanya lama sekali hingga motor tua itu, berhenti didepan gerbang sekolah kami. Aku berhenti tepat dibelakang motor tua itu.

Aku turun dari motor sportku dan memberanikan diri menyapa wanita yang baru saja turun dari boncengannya. 

"Lho, barengan kita." Sapanya ramah padaku. Kemudian fokusnya kembali teralih pada pria yang masih berada diatas motor. Ah, sial memang.

"Aku sekolah, Pak." Ucapnya seraya mencium punggung tangan  Bapaknya.

Aku yang canggung hanya melempar senyum sambil sedikit menundukan kepala.

"Dia siapa? Pacarmu atau musuhmu? Dari tadi matanya menatapmu!" Tanya si Bapak.

"Hanya teman, Pak. Sungguh." Jawab anaknya tanpa ragu.

"Baguslah. Tidak ada pacaran!" Bapaknya memberi wasiat.

"Janji." Wanita yang kupuja itu mengangkat dua jarinya sebagai simbol sumpah.

Aku yang mendengar dan melihatnya mencelos hatiku. Ingin rasanya kembali kerumah dan tidur bersama si jago.

Aku tidak patah hati, hanya saja rasanya semangat tadi menguap pergi dan ingin menyendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun