Sepertinya, bulan dan bintang mengamini ucapanku. Karena seminggu kemudian akulah yang pergi mendului suamiku tercinta.
Aku melihatnya menangis tanpa suara. Air matanya terus mengalir, namun aku tidak dapat menghapusnya, apalagi memeluknya seperti biasanya ketika dia sedang sedih atau memiliki masalah.
Aku hanya bisa memandanginya.
Dua anak dan kelima cucu kami, setia menemaninya. Anak sulung kami menggantikaku memeluknya. Menghapus air matanya dan membisikan kata-kata penguat hati yang ternyata tidak mempan. Karena, suamiku masih saja menangis.
"Sayang, besok jemput aku. Aku tidak mau sendiri. Jemput aku." Lirihnya, didekat tubuhku yang terbaring kaku.
Keriput diwajahnya semakin ketara, setelah tubuhku ditelan tanah. Suamiku adalah yang terakhir pergi dari rumah baruku yang berukuran dua koma lima meter kali satu koma lima meter. Didampingi anak-anak dan para cucu.
Aku mengikutinya tanpa dia tahu. Ingin rasa berhambur memeluknya dan membisikan kata, "Terimakasih sudah menemaniku hingga akhir."
Aku, mengucapkan kata itu berualang kali, tapi sepertinya dia tidak mendengar.Â
Dikasur tempat kami melepas lelah, dia memeluk fotoku. Membelai foto berbingkai itu yang menampilkan wajah kami yang sedang tersenyum bahagia.
Aku masih menemaninya hingga seminggu lamanya. Aku melihat perubahan pada tubuhnya. Wajahnya semakin terlihat tua. Sinar matanya semakin redup.
"Aku merindukanmu." Itu menjadi ritual sehari-harinya.Â