Bulan mulai muncul bersama dengan bintang kecil. Angin sepoi menerpa semilir wajah yang sudah keriput dan rambut yang mulai menipis dan berubah warna menjadi putih.
Kami duduk berdua menikmati malam sambil sesekali bercanda. Aku adalah istri dari pria yang saat ini duduk disampingku.
Dia tidak lagi gagah seperti berpuluh tahun silam saat aku mengenalnya dibangku kampus. Â Tidak lagi lincah seperti dulu dia mengajarkan bela diri demi biaya pendidikannya dan meneraktirku semangkok bakso.
Pria yang tidak sempurna karena memiliki kekurangan, seperti juga halnya aku. Yang sesekali terlihat marah namun menahan sekuat hatinya untuk tidak meluapkannya padaku padahal akulah yang membuatnya marah.
Dia tidak sempurna karena pernah khilaf dan melakukan kesalahanya. Sama denganku.
Tapi, bagaimanapun kekurangan kami nyatanya diusia tua kami, pria inilah yang menemaniku. Meninggalkan hiruk pikuk kota. Menjelajahi desa berteman sawah dan suara kodok saat hujan.
Dirumah sederhana yang hanya memiliki dua kamar dan satu ruang serbaguna inilah kami menghabiskan waktu. Saat waktu senggang, dan kami banyak memiliki waktu luang, kami akan duduk diteras rumah menikmati pemandangan pohon duren dan petai juga kecipak ikan dikolam.Â
Tidak banyak yang kami punya untuk ditanam, tapi dari tidak banyak itulah menjadi sumber pendapatan kami diusia senja. Jangan, ditanya dimana anak-anak.
Anak-anak kami dengan senang hati mengurus dan membiayai hidup kami. Tapi, kami terlalu keras kepala ingin melakukan semua berdua. Merasa masih memiliki otot meski tidak sekuat baja.
"Sayang, jangan tinggalin aku sendiri." Ucapku malam itu pada suamiku yang.
"Ya, tidak. Kita akan bersama terus." Sahutnya sambil tersenyum. "Janji." Lanjutnya, sambil mengecup punggung tanganku.