Mohon tunggu...
Endah Suyarini
Endah Suyarini Mohon Tunggu... Lainnya - Saya bekerja dari subuh hingga malam hari. Jabatan saya sebagai seorang istri dan ibu. Disebuah perusahaan rumah tangga.

Saya suka menulis dan membaca, terutama tentang gosip viral. Selain itu juga mengisi waktu dengan bermain brick blok dan merecoki anak yang sedang main. Paling suka lagi adalah rebahan. Sekedar menikmati kipas angin didaerah panas ini, sambil mendengarkan cerita horor lewat aplikasi merah, atau membaca novel-novel fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rindu Itu Tuntas

26 Maret 2024   05:34 Diperbarui: 26 Maret 2024   05:38 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bulan mulai muncul bersama dengan bintang kecil. Angin sepoi menerpa semilir wajah yang sudah keriput dan rambut yang mulai menipis dan berubah warna menjadi putih.

Kami duduk berdua menikmati malam sambil sesekali bercanda. Aku adalah istri dari pria yang saat ini duduk disampingku.

Dia tidak lagi gagah seperti berpuluh tahun silam saat aku mengenalnya dibangku kampus.  Tidak lagi lincah seperti dulu dia mengajarkan bela diri demi biaya pendidikannya dan meneraktirku semangkok bakso.

Pria yang tidak sempurna karena memiliki kekurangan, seperti juga halnya aku. Yang sesekali terlihat marah namun menahan sekuat hatinya untuk tidak meluapkannya padaku padahal akulah yang membuatnya marah.

Dia tidak sempurna karena pernah khilaf dan melakukan kesalahanya. Sama denganku.

Tapi, bagaimanapun kekurangan kami nyatanya diusia tua kami, pria inilah yang menemaniku. Meninggalkan hiruk pikuk kota. Menjelajahi desa berteman sawah dan suara kodok saat hujan.

Dirumah sederhana yang hanya memiliki dua kamar dan satu ruang serbaguna inilah kami menghabiskan waktu. Saat waktu senggang, dan kami banyak memiliki waktu luang, kami akan duduk diteras rumah menikmati pemandangan pohon duren dan petai juga kecipak ikan dikolam. 

Tidak banyak yang kami punya untuk ditanam, tapi dari tidak banyak itulah menjadi sumber pendapatan kami diusia senja. Jangan, ditanya dimana anak-anak.

Anak-anak kami dengan senang hati mengurus dan membiayai hidup kami. Tapi, kami terlalu keras kepala ingin melakukan semua berdua. Merasa masih memiliki otot meski tidak sekuat baja.

"Sayang, jangan tinggalin aku sendiri." Ucapku malam itu pada suamiku yang.

"Ya, tidak. Kita akan bersama terus." Sahutnya sambil tersenyum. "Janji." Lanjutnya, sambil mengecup punggung tanganku.

Sepertinya, bulan dan bintang mengamini ucapanku. Karena seminggu kemudian akulah yang pergi mendului suamiku tercinta.

Aku melihatnya menangis tanpa suara. Air matanya terus mengalir, namun aku tidak dapat menghapusnya, apalagi memeluknya seperti biasanya ketika dia sedang sedih atau memiliki masalah.

Aku hanya bisa memandanginya.

Dua anak dan kelima cucu kami, setia menemaninya. Anak sulung kami menggantikaku memeluknya. Menghapus air matanya dan membisikan kata-kata penguat hati yang ternyata tidak mempan. Karena, suamiku masih saja menangis.

"Sayang, besok jemput aku. Aku tidak mau sendiri. Jemput aku." Lirihnya, didekat tubuhku yang terbaring kaku.

Keriput diwajahnya semakin ketara, setelah tubuhku ditelan tanah. Suamiku adalah yang terakhir pergi dari rumah baruku yang berukuran dua koma lima meter kali satu koma lima meter. Didampingi anak-anak dan para cucu.

Aku mengikutinya tanpa dia tahu. Ingin rasa berhambur memeluknya dan membisikan kata, "Terimakasih sudah menemaniku hingga akhir."

Aku, mengucapkan kata itu berualang kali, tapi sepertinya dia tidak mendengar. 

Dikasur tempat kami melepas lelah, dia memeluk fotoku. Membelai foto berbingkai itu yang menampilkan wajah kami yang sedang tersenyum bahagia.

Aku masih menemaninya hingga seminggu lamanya. Aku melihat perubahan pada tubuhnya. Wajahnya semakin terlihat tua. Sinar matanya semakin redup.

"Aku merindukanmu." Itu menjadi ritual sehari-harinya. 

 

Tidak lagi menghabiskan waktu diteras rumah. Tidak ada lagi tawa. Meski anak-anak kami menghiburnya. Bahkan si sulung memilih menemaninya. Tapi, tetao saja suamiku lebih banyak diam dan murung.

"Aku merindukanmu. Kapan jemput aku?" Lirihnya sebelum tidur malam.

Langit masih gelap saat aku datang, mengusap lembut pundaknya dan berkata. "Aku akan menjemputmu. Bersiaplah."

Aku melihat senyum memgembang diwajahnya meski matanya masih tertutup.

Suamiku. Dia menepati janjinya. " kita akan selalu bersama." 

Rindu itu tuntas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun