Mohon tunggu...
Endah Suyarini
Endah Suyarini Mohon Tunggu... Lainnya - Saya bekerja dari subuh hingga malam hari. Jabatan saya sebagai seorang istri dan ibu. Disebuah perusahaan rumah tangga.

Saya suka menulis dan membaca, terutama tentang gosip viral. Selain itu juga mengisi waktu dengan bermain brick blok dan merecoki anak yang sedang main. Paling suka lagi adalah rebahan. Sekedar menikmati kipas angin didaerah panas ini, sambil mendengarkan cerita horor lewat aplikasi merah, atau membaca novel-novel fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tukar Nasib

23 Maret 2024   15:44 Diperbarui: 23 Maret 2024   15:48 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Assalamualaikum. Bu.. bu Sul. Bu Sulis." Seorang pria gempal berperut buncit menyeru didepan warung kelontong yang menjual aneka kebutuhan sehari-hari.

Tergopoh-gopoh yang dipanggil muncul dari arah dalam rumahnya dengan daster yang basah dibagian bawahnya.

"Lho, Pak Adam. Tumben pagi-pagi. Mau beli apa?" 

"Ini, gas melon ada gak?" Tanya pria buncit bernama Adam. Tapi, bukan Adam Suseno suami penyanyi dangdut. Hanya nama dan kebetulan perawakanya yang sama, tapi beda nasib. Si bapak memanggul gas melon alias gas tiga kilo.

"Gas tiga kilo ada banyak, Pak. Tuh!" Bu Sul si pemilik warung menunjuk kearah tumpukan tabung gas.

"Lha, dalah, itu gas kosong, Buk. Aku butuh yang isi!" Ucap Pak Adam setengah jengkel karena dikerjai.

"Kosong semua, Pak. Belum dapet kiriman sudah seminggu." Jawab Bu Sul. "Sama seperti isi rekeningku yang kosong, belum diisi sama pak suami yang entah dimana." Buk Sul malah mencurahkan isi hati.

"Itu yang sebelah kanan, itu semua tabung kosong punya tetangga yang dititipkan. Nanti, kalau ada kiriman minta didulukan." Terang Bu Sul.

"Kemarin, aku antri dua tabung dapet cuma satu. Anaku antri empat tabung ditempat lain, dapetnya cuma dua." Cerita Bu Sul.

"Halah, lha apa lagi ada diskon lima puluh persen! Lha, terus gimana? Istriku mau masak ini, lho. Mau masak terasi bakar. Aku sudah keliling kesana kemari, lho ini. Habis semua!" Pak Adam kebingungan.

"Ya, gimana Pak. Gas tiga kilo lagi langka. Sulit ini." Sahut Bu Sul. "Aku sudah hubungi bos agen, disana juga belum dapat kiriman."

Pak Adam menghela nafas. 

"Capek aku ini. Panas-panas muter-muter. Pusing kepala." Pak Adam duduk dibangku beton depan warung.

Disaat yang sama Dul Idul datang sambil juga menenteng tabung gas tiga kilo. Mendengar percakapan dua orang tadi membuatnya menghela nafas kecewa.

"Haduh. Kok, bisa langka, tho ini?" Tanyanya dengan logat jawa.

"Ya, mau gimana lagi. Sampean lihat gak, tulisan ditabungnya itu. Lihat tho, dibaca! 'Untuk Masyarakat Miskin' betul?" Pak Adam membaca dengan kencang, sambil memperhatikan tabung gas yang penuh dengan bercak serupa karat.

"Teros?" Dul Idul tidak paham. Pun dengan Bu Sul yang tidak tahu kemana arah pembicaraan Pak Adam.

"Itu artinya gas tiga kilo khusus orang miskin. Bener? Nah, karena gas tiga kilo sulit atau langka, artinya orang miskin disini sudah sulit alias langka alias masyarakat kita wis, sogeh-sogeh alias kaya-kaya! Begitu. Meskipun hanya makan terasi bakar!"

"Terasi terbuat dari udang. Udang itu sipud. Sipud itu makanannya orang kaya. Jadi, aku ini termasuk orang kaya. Terangkat status sosialnya karena terasi."

"Halah, aneh-aneh wae. Bikin mumet!" Runtuk Dul Idul.

"Intinya gas tiga kilo itu hanya tabung kosonh, karena masyarakat kita sudah kaya raya tidak pantas pake gas tiga kilo! Kecuali, kamu tidak malu dipanggil si miskin meski berduit." Pak Adam berkata.

"Aku sing penting bisa makan!" Sahut Dul Idul sambil menggaruk kepalanya.

"Ya, beli yang lima kilo atau dua belas kilo. Sama-sama gas. Di warungnya idosemar atau mpok alpa ada banyak itu." Usul Buk Sul.

"Iya, banyak Bu. Isi dompet yang gak banyak. Mosok yo, aku negmut gaa biar kenyang! Mbelug tho, perutku." Tanggap Dul Idul.

"Ya, sudah pake kayu bakar saja." Ide Pak Adam.

"Kayu bakar dari mana? Pohon pun langka, sudah jadi beton!" Sungut Dul Idul.

"Gimana ini! Istriku pasti ngomel-ngomel." Dul Idul semakin menggaruk kepalanya.

"Owalah ... ternyata kita masih miskin ya, Dul!"

"Yang bilang kaya tuh, siapa?" Sungut Dul Idul.

"Ya, gas tiga kilo yang langka itu. Secara tidak langsung menunjukan kita sudah kaya makanya langka. Atau..." Pak Adam berubah sendu.

"Atau apa?" Buk Sul penasaran dengan lanjutannya.

"Atau, orang miskin seperti kita memang sengaja dilangkakan kebutuhannya. Supaya, tidak betah. Frustasi dan akhirnya putus asa. Lalu, tahu kan, yang dilakukan orang putus asa? Menghilang dari bumi!" Pak Adam mendramatisir.

"Malah horor!" Dul Idul menjadi sebal.

"Sudah-sudah. Omonganya kok, semakin ngelantur. Coba cari diwarung yang lain." Buk Sul memberi saran.

"Katanya doa teraniaya dikabulkan, kan? Ini saya sudah merasa teraniaya. Perut lapar. Tenggorokan kering. Kepala pusing. Isi dompet kering. Masih harus cari gas keliling. Aku doakan diriku dan mereka yang senasib denganku menjadi orang kaya. Yang amanah dan gak cuma ongkang-ongkang pamer tampang dan wajah garang merasa menang. Petantang petenteng. Merasa penting padahal gak guna. Enaknya ya, diguna-gunai biar tukar nasib. Orang kaya jadi miskin orang miskin jadi kaya. Yang menengah tidak akan kalah."

"Ngomong apa tho, pak?" Tegur Gus Idul.

"Ini Omongan orang yang terpinggirkan. Yang sebentar lagi nyemplung jurang! Intinya, kembalikan gas tiga kilo! Atau buat kami kaya!" Pak Adam berapi-api seperti orang sedang demo.

"Jangan ngomong terus. Sampean ngomong panjang lebar, yo, gasnya gak muncul-muncul." Protes Dul Idul.

"Katanya gas langka karena banjir dipelabuhan. Gas sulit diturunkan. Lalu, ada yang bilang karena panic buying. Lah, yang ini aku tidak paham maksudnya apa?" Buk Sul memberi informasi penyebab kelangkaan gas tiga kilo.

"Halah, biasa! Senengnya kasil alasan tidak kasih solusi. Alasan gak bikin kenyang, malah bikin tambah mikir! Mumet!" Dul Idul terus memberengut

"Harusnya kasih solusi. Kalau kasih alasan, cucuku lebih pintar cari alasan. Tadi, alasanya karena banjir? Ya, kan tinggal diseberangkan pakai getek atau perahu tho!" Ujar Pak Adam.

"Terus panik apa itu? Gak ngerti juga aku. Yang jelas gak ada gas yo, bikin panik! Bingung mau masak gimana. Bingung gak bisa masak, gak makan. Gak bisa makan. Jajan di warteg kan gak bisa bayar pakai kartu hijau itu!" Ujar Pak Adam.

"Mungkin besok kalau banjir sudah surut, pasokan gas nomal." Hibur Buk Sul.

"Lha, itu pas pasokan normal, pas aku matek! Nanti, muncul dikoran dengan judul 'Ditemukan bapak ganteng dipinggir warung sedang membawa tabung gas kosnong, sudah tidak beenyawa!' Piye?" Kali ini Dul Idul yang mendramatisir.

"Kamu matek, ya, tinggal aku kubur. Nanti, jadi poci bentuknya tabung gas, yo, hantui mereka yang bertanggung jawab atas kematekanmu!" Seloroh Pak Adam.

"Hush, doa yang baik-baik, ah!" Tegus Buk Sul.

"Gimana lagi, ini aku sudah putus asa. Bengsin motor yo, sudah tipis. Setipis kesabaranku. Mau pulang ya, tidak bisa. Istri dirumah bakal ngamuk, karena terasi gagal dimasak. Ini cacingku saja sudah nangis darah, pusing diajak keliling cari gas." Sedih Pak Adam.

Meratapi nasib yang bersiap kembali berburu gas melon yang mungkin melonnya sudah diberi sirup dan es batu. Manis, dingin dan berakhir dengan bikin batuk.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun