Pak Adam menghela nafas.Â
"Capek aku ini. Panas-panas muter-muter. Pusing kepala." Pak Adam duduk dibangku beton depan warung.
Disaat yang sama Dul Idul datang sambil juga menenteng tabung gas tiga kilo. Mendengar percakapan dua orang tadi membuatnya menghela nafas kecewa.
"Haduh. Kok, bisa langka, tho ini?" Tanyanya dengan logat jawa.
"Ya, mau gimana lagi. Sampean lihat gak, tulisan ditabungnya itu. Lihat tho, dibaca! 'Untuk Masyarakat Miskin' betul?" Pak Adam membaca dengan kencang, sambil memperhatikan tabung gas yang penuh dengan bercak serupa karat.
"Teros?" Dul Idul tidak paham. Pun dengan Bu Sul yang tidak tahu kemana arah pembicaraan Pak Adam.
"Itu artinya gas tiga kilo khusus orang miskin. Bener? Nah, karena gas tiga kilo sulit atau langka, artinya orang miskin disini sudah sulit alias langka alias masyarakat kita wis, sogeh-sogeh alias kaya-kaya! Begitu. Meskipun hanya makan terasi bakar!"
"Terasi terbuat dari udang. Udang itu sipud. Sipud itu makanannya orang kaya. Jadi, aku ini termasuk orang kaya. Terangkat status sosialnya karena terasi."
"Halah, aneh-aneh wae. Bikin mumet!" Runtuk Dul Idul.
"Intinya gas tiga kilo itu hanya tabung kosonh, karena masyarakat kita sudah kaya raya tidak pantas pake gas tiga kilo! Kecuali, kamu tidak malu dipanggil si miskin meski berduit." Pak Adam berkata.
"Aku sing penting bisa makan!" Sahut Dul Idul sambil menggaruk kepalanya.