"Sudah-sudah. Omonganya kok, semakin ngelantur. Coba cari diwarung yang lain." Buk Sul memberi saran.
"Katanya doa teraniaya dikabulkan, kan? Ini saya sudah merasa teraniaya. Perut lapar. Tenggorokan kering. Kepala pusing. Isi dompet kering. Masih harus cari gas keliling. Aku doakan diriku dan mereka yang senasib denganku menjadi orang kaya. Yang amanah dan gak cuma ongkang-ongkang pamer tampang dan wajah garang merasa menang. Petantang petenteng. Merasa penting padahal gak guna. Enaknya ya, diguna-gunai biar tukar nasib. Orang kaya jadi miskin orang miskin jadi kaya. Yang menengah tidak akan kalah."
"Ngomong apa tho, pak?" Tegur Gus Idul.
"Ini Omongan orang yang terpinggirkan. Yang sebentar lagi nyemplung jurang! Intinya, kembalikan gas tiga kilo! Atau buat kami kaya!" Pak Adam berapi-api seperti orang sedang demo.
"Jangan ngomong terus. Sampean ngomong panjang lebar, yo, gasnya gak muncul-muncul." Protes Dul Idul.
"Katanya gas langka karena banjir dipelabuhan. Gas sulit diturunkan. Lalu, ada yang bilang karena panic buying. Lah, yang ini aku tidak paham maksudnya apa?" Buk Sul memberi informasi penyebab kelangkaan gas tiga kilo.
"Halah, biasa! Senengnya kasil alasan tidak kasih solusi. Alasan gak bikin kenyang, malah bikin tambah mikir! Mumet!" Dul Idul terus memberengut
"Harusnya kasih solusi. Kalau kasih alasan, cucuku lebih pintar cari alasan. Tadi, alasanya karena banjir? Ya, kan tinggal diseberangkan pakai getek atau perahu tho!" Ujar Pak Adam.
"Terus panik apa itu? Gak ngerti juga aku. Yang jelas gak ada gas yo, bikin panik! Bingung mau masak gimana. Bingung gak bisa masak, gak makan. Gak bisa makan. Jajan di warteg kan gak bisa bayar pakai kartu hijau itu!" Ujar Pak Adam.
"Mungkin besok kalau banjir sudah surut, pasokan gas nomal." Hibur Buk Sul.
"Lha, itu pas pasokan normal, pas aku matek! Nanti, muncul dikoran dengan judul 'Ditemukan bapak ganteng dipinggir warung sedang membawa tabung gas kosnong, sudah tidak beenyawa!' Piye?" Kali ini Dul Idul yang mendramatisir.