Mohon tunggu...
Endah Suyarini
Endah Suyarini Mohon Tunggu... Lainnya - Saya bekerja dari subuh hingga malam hari. Jabatan saya sebagai seorang istri dan ibu. Disebuah perusahaan rumah tangga.

Saya suka menulis dan membaca, terutama tentang gosip viral. Selain itu juga mengisi waktu dengan bermain brick blok dan merecoki anak yang sedang main. Paling suka lagi adalah rebahan. Sekedar menikmati kipas angin didaerah panas ini, sambil mendengarkan cerita horor lewat aplikasi merah, atau membaca novel-novel fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bisikan Lelembut, Rumpi Ibu-Ibu dan Bakul Sayur

21 Maret 2024   10:00 Diperbarui: 21 Maret 2024   10:14 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sayuuurrr!" Teriakan nyaring menembus dinding-dinding rumah. "Sayurnya, Bu!" Kembali bakul sayur menyeru para ibu.

Satu dua orang ibu berdaster keluar rumah. 

"Berisik amat, Bang!" Seru ibu daster merah yang depan rumahnya dijadikan tempat pemberhentian si bakul sayur.

"Lho, kalo bisik-bisik tidak ada yang dengar, Bu." Bakul sayur menyahuti.

"Kangkung berapa, Bang?"  Tanya ibu daster kuning.

"Tujuh ribu saja." Jawab bakul sayur.

"Hah, tujuh ribu? Kangkung ikatanya kurus begini tujuh ribu? Mahal bener Bang." Protes si ibu.

"Kalau mau murah, nanam sendiri Bu. Itu juga kalau berhasil bisa panen. Kalo gagal, ya, jadinya oseng tanah." Canda Bakul sayur sambil cengar cengir.

"Cabai rawit berapa?" Kali ini ibu daster hijau yang baru keluar rumah yang bertanya.

"Seribu saja, bu." Jawab si bakul.

"Mosok seribu, Bang? Tumben cabai murah. Saya borong sekilo, deh." Ibu daster kuning meraup cabai rawit dan memasukannya kekantong plastik.

Bakul sayur tertawa sumringah. "Yakin mau beli sekilo, Bu?"

"Mumpung murah. Seribukan?" Si ibu meyakinkan.

"Iya, betul seribu. Tapi, satu bijinya." Bakul sayur tertawa terbahak-bahak.

"Halah, wis! Tidak jadi!" Si ibu cemberut dikerjai bakul sayur bertubuh gempal dan berperut buncit itu.

"Ya, yang lain tho, Bu. Ini ada ikan nila segar-segar habis nyemplung dikolam." Bakul sayur yang mirip dengan suami inul daratista itu, menunjukan ikan nila lima ekor yang terbungkus plastik.

"Kamu ini bakul sayur apa bakul ikan?" 

"Apa saja saya jual, Bu. Yang penting jadi duit dan halal. Ingat halal!" Bakul sayur menegaskan pada kata halal.

"Lha, berapaan itu?" Tanya ibu daster kuning.

"Lima puluh ribu saja. Satu ekornya sepuluh ribu. Lengkap dengan kepala. Nanti, saya bersihkan jeroan dan sisiknya sebagai bonus." Promo bakul sayur.

"Ya, ampun lima puluh ribu? Mahal benar." Sungut si ibu.

"Ya, gimana tidak mahal, Bu? Ikannya kan pandai berenang. Les renang kan mahal."

"Halah, mana ada ikan les berenang. Abangnya kali, yang les renang sama ikan." Gerutu ibu daster kuning.

Bakul sayur tertawa mendengar lelucon calon pembelinya itu.

"Mahal semua begini, saya masak apa? Masak air, air juga naik." Komentar ibu daster merah.

"Ini tempe berapaan?" Tanyanya.

"Enam ribu saja kalau tempe."

"Hadoh, tempe kerempeng begini enam ribu? Cacing saya saja lebih berisi dari ini." Ujar si ibu yang perawakannya tidak kalah gempal dengan bakul sayur.

"Mahal-mahal semua sekarang. Ini itu naik. Tapi, gaji tidak naik-naik, malah kepotong pinjaman dikoperasi." Ibu daster hijau mencurahkan kegalauannya.

"Lho, kan harga-harga lagi ikutan tren!" Sahut bakul sayur.

"Tren apa lagi?" Serempak para ibu bertanya.

"Tren anomali. Tidak cuma ada anomali cuaca, tapi juga anomali harga!":Bakul sayur tertawa. Menertawakan leluconnya sendiri.

"Harga-harga sekarang sulit diprediksi. Hanya Tuhan dan pejabat penentu harga yang tahu berapa harga akan dikeluarkan. Nanti, kalau pada protes, ya, tinggal salahkan cuaca."

"Kalau lagi kemarau, ya, tinggal bilang harga mahal karena kesulitan air dan tanah kekeringan. Panen gagal!"

"Kalau lagi hujan, ya, tinggal bilang harga mahal karena kebanyakan air dan tanah terendam banjir. Panen gagal maning!"

"Paham tidak ibu-ibu tercantik se-gang ngalor-ngidul?" Bakul sayur menyudahi ucapannya.

"Tidak paham, ah, Bang. Mumet saya. Ngomongin harga kok, sampai bawa-bawa cuaca. Mumet saya!" Ibu daster kuning memijat pelipisnya.

"Ya, harusnya kalau ngomongin harga, bawa-bawanya uang. Itu lebih tepat, Bu." Bakul sayur menyahuti.

"Ini saya bawa-bawa uang, Bang. Uang si jago saya paksa keluarkan, lho ini. Lah, kok, harganya malah naek semua. Menjerit ini celengan jago saya!"

"Hidih, kata siapa naik Bu? Ini bukan naik tapi ganti harga! Bahasa kerennya penyesuaian harga!" Timpal bakul sayur berperut buncit.

"Halah, wis, ini saya enaknya makan apa ini? Oseng tempe saja lah." Ibu daster kuning mengambil sebungkus tempe.

"Ya, mending makan tempe saja, Bu. Ditambah makan hati dan makan angin. Kenyang itu, Bu!" Seloroh bakul sayur sambil menerima pecahan uang sepuluh ribu.

"Iya, kenyang. Kenyang mbatin sampe masuk angin. Nanti kalau sakit dan berobat, puyeng lagi mikirin obat." Sahut ibu daster hijau.

"Lho, kalau sakit ditanggung kartu kesehatan yang penting bayar iuran. Kalo, laper tidak ada yang nanggung! Soalnya kan, tidak ikut urun pada pabrik pupuk!" Bakul sayur terkekeh.

"Wis, ah. Mumet aku." Ibu daster kuning pamit pergi menenteng tempe.

"Ibu-ibu ini mau masak apa?" Tanya bakul sayur pada dua ibu yang tersisa.

"Saya, beli kangkungnya saja, lah." Ibu daster hijau memilih kangkung dan juga pamit setelah membayar.

"Ibu, mau masak apa? Merah meriah begini pasti masakannya lezat." 

Ibu daster merah senyum-senyum mendengar pujian abang sayur.

"Saya mau nilanya, Bang. Dibersihkan sekalian, ya." Ibu daster merah menunjuk ikan nila.

"Siap, Bu. Dipotong atau biar selonjoran begini?" Tanya bakul.

"Dipotong jadi dua saja. Biar kelihatan banyak."

"Beres." Bakul sayur menyiapkan pisau dan wadah untuk membuang kotorannya.

"Tapi, Bang ..." suara ibu daster merah terdengar pelan, dengan berbisik dia berkata, "bayar bulan depan, ya, bang."

Bakul sayur merinding mendengarnya. Dia, bergegas membereskan pisau dan wadah juga mengembalikan sebungkus ikan nila ketempat semula.

"Lho, kenapa, Bang! Kok, malah dibereskan?" Bu daster merah terlihat kecewa.

"Saya mendengar bisikan lelembut. Saya pergi Bu." Bakul sayur mendorong cepat gerobaknya.

"Haish...dipikir saya makhluk halus! Bilang saja tidak boleh bayar ... " teriakannya berhenti saat ibu daster hijau memperhatikannya. Tanpa basa basi si ibu pergi kembali kerumahnya.

Makan angin dan makan hati akan menjadi lauknya hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun