"Kalau lagi kemarau, ya, tinggal bilang harga mahal karena kesulitan air dan tanah kekeringan. Panen gagal!"
"Kalau lagi hujan, ya, tinggal bilang harga mahal karena kebanyakan air dan tanah terendam banjir. Panen gagal maning!"
"Paham tidak ibu-ibu tercantik se-gang ngalor-ngidul?" Bakul sayur menyudahi ucapannya.
"Tidak paham, ah, Bang. Mumet saya. Ngomongin harga kok, sampai bawa-bawa cuaca. Mumet saya!" Ibu daster kuning memijat pelipisnya.
"Ya, harusnya kalau ngomongin harga, bawa-bawanya uang. Itu lebih tepat, Bu." Bakul sayur menyahuti.
"Ini saya bawa-bawa uang, Bang. Uang si jago saya paksa keluarkan, lho ini. Lah, kok, harganya malah naek semua. Menjerit ini celengan jago saya!"
"Hidih, kata siapa naik Bu? Ini bukan naik tapi ganti harga! Bahasa kerennya penyesuaian harga!" Timpal bakul sayur berperut buncit.
"Halah, wis, ini saya enaknya makan apa ini? Oseng tempe saja lah." Ibu daster kuning mengambil sebungkus tempe.
"Ya, mending makan tempe saja, Bu. Ditambah makan hati dan makan angin. Kenyang itu, Bu!" Seloroh bakul sayur sambil menerima pecahan uang sepuluh ribu.
"Iya, kenyang. Kenyang mbatin sampe masuk angin. Nanti kalau sakit dan berobat, puyeng lagi mikirin obat." Sahut ibu daster hijau.
"Lho, kalau sakit ditanggung kartu kesehatan yang penting bayar iuran. Kalo, laper tidak ada yang nanggung! Soalnya kan, tidak ikut urun pada pabrik pupuk!" Bakul sayur terkekeh.