Mohon tunggu...
Endah Tri Rachmani
Endah Tri Rachmani Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga dengan 3 anak yang juga bekerja sebagai guru.

Menulis untuk berbagi kisah tentang cerita-cerita kehidupan di lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepeda Bapak

10 Juli 2021   07:30 Diperbarui: 10 Juli 2021   07:33 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di zaman modern seperti sekarang ini, sepeda bukanlah barang mewah. Jika diminta memilih, orang lebih memilih sepeda motor daripada sepeda. Apalagi, jika pilihan sepedanya seperti sepeda bapak. Wah, tukang rongsok pun juga pasti berpikir ulang untuk membelinya. Paling-paling dihitung sebagai besi tua yang harganya berdasar berat timbangan.

Tapi, jangan main-main dengan benda itu. Bagi bapak, benda itu sepertinya barang keramat. Tak ada seorang pun anaknya yang diijinkan menaikinya. Sepeda bobrok itu begitu disayanginya.

"Buat apa sih benda itu masih diurus, Pak? Ganti saja yang baru. Nanti aku belikan model terbaru yang bisa dilipat. Atau mau yang ada listriknya, biar bapak tidak perlu capek-capek nggenjot?" belum bosan aku merayu bapak.

"Hmmm ...." Hanya itu jawaban yg aku terima, lalu bapak kembali asyik mengelap dan memberi oli pada sepeda bututnya.

Sepeda tua itu berwarna hitam. Masih terlihat jelas meski sudah banyak cat yang mengelupas. Sadelnya sudah penyok, sebagian ada yang mengelupas. Lampu berkonya sudah tak lagi menyala, hanya sebagai hiasan saja menempel di dekat ban depan. Keranjangnya entah sudah berapa kali dibetulkan, banyak kawat yang terkait untuk menjaga agar tidak rontok. Setang kiri agak bengkok dan ada bekas dilas di sana, aku yakin dulunya setang itu pernah patah. Boncengan belakang juga sepertinya pernah patah, ada jejak bekas las juga di tiang penyangganya.

Entah sudah berapa kali aku merayu bapak untuk mengganti sepedanya dengan yang baru, tapi bapak tak pernah mau. Bapak orang yang pendiam, tak pernah banyak kata yang diucapkannya. Jadi, aku tak pernah mendapat jawaban yang jelas kenapa beliau sangat menyayangi sepeda butut itu.

Kadang-kadang aku berpikir untuk diam-diam menjual sepeda itu dan menggantinya dengan yang baru. Tapi, aku masih sabar merayu bapak. Semoga tak lama lagi beliau mau, pikirku.

Siang itu, saat aku di kantor, tiba-tiba ada panggilan dari nomor asing masuk. Kupikir dari kolega atau rekan kantor, tapi ternyata itu dari kepolisian yang mengabarkan kalau bapak mengalami kecelakaan dengan sepedanya. Secepat kilat aku berlari menyambar kunci motor untuk menuju rumah sakit.

"Bapak kenapa, Rin?" tanyaku pada Rini adikku yang sudah sampai lebih dulu di IGD.

"Bapak kecelakaan, Mas. Tadi bapak sedang bersepeda lalu ada truk yang menyenggolnya. Sepedanya roboh, bapak terlempar ke dalam selokan. Semoga bapak tidak apa-apa, Mas." Rini melanjutkan penjelasannya sambil menangis.

"Iya, Rin. Semoga saja. Lalu, sepeda bapak di mana?" tanyaku lagi.

"Dibawa pak polisi tadi, Mas," jawab Rini.

Kami terdiam. Rasanya jantungku berdetak tak karuan memikirkan bapak.

"Ya Allah, semoga engkau menjaga bapak kami. Aku belum cukup membalas semua kasih sayangnya. Sembuhkan bapak, ya Allah," doaku dalam diam.

Bapak adalah satu-satunya orang tua yang masih kumiliki. Beliau tidak menikah lagi setelah kepergian ibu dua puluh tahun yang lalu. Beliau merawat aku yang waktu itu berumur 8 tahun dan Rini yang masih berumur 4 tahun, sendiri.

"Bapak tidak sanggup menggantikan posisi ibumu dengan perempuan lain. Biarlah begini saja. Apa kamu ingin punya ibu baru? Bapak kurang apa?" itu jawaban bapak waktu aku iseng bertanya saat aku duduk di bangku SMA.

Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya bapak keluar dari ruang IGD. Alhamdulillah bapak tidak apa-apa. Hanya lecet-lecet di kaki dan lengan kirinya. Tidak perlu dirawat inap, kata dokter.

Setelah menebus obat, aku meminta Rini menemani bapak pulang dengan mobil yang sudah kupesan secara online, sementara aku menaiki motor mengiring di belakang mereka.

Sampai di rumah, bapak langsung menanyakan sepeda bututnya, "Di mana sepedaku, Wan?" tanya bapak.

"Dibawa pak polisi, Pak. Buat barang bukti. Sudah, bapak nggak usah mikirin sepeda dulu. Di sana aman, nggak ada yang mau ngambil sepeda bapak. Besok kalau urusannya sudah beres, aku ambil sepeda bapak," jawabku.

Aku sebenarnya tidak ada niat mengambil sepeda itu. Aku justru bersyukur sepeda itu dibawa pak polisi. Akhirnya rongsokan itu bisa keluar dari rumah ini tanpa aku harus membuangnya.

Seminggu berlalu sejak kecelakaan itu, bapak sudah sehat kembali. Pagi itu, beliau sudah terlihat rapi duduk di kursi teras depan. Seperti mau pergi ke luar.

"Pagi-pagi sudah rapi mau kemana, Pak?" tanyaku dengan sedikit terkejut saat keluar rumah untuk berangkat kerja.

"Bapak mau ambil sepeda, Wan. Berangkatnya ikut kamu ya ke kantor polisi. Nanti pulangnya biar bapak naik sepeda," ujar bapak.

"Allohu Akbar ... bapak ngapain masih mikirin sepeda itu? Sudah bagus di kantor polisi saja. Biar tidak usah diambil," tukasku.

"Tapi, Wan. Bapak kangen naik sepeda. Mau cek juga siapa tahu ada yang rusak gara-gara kecelakaan kemarin," lanjut bapak.

"Pak, sepeda bapak itu sudah rusak, pelek depan penyok, bannya juga sudah putus. Setangnya patah. Sudah lah pak, tidak usah diurus lagi besi tua rongsokan itu," jelasku panjang lebar.

"Sudah, bapak nggak usah mikir lagi. Istirahat saja di rumah. Nanti aku belikan sepeda baru untuk bapak. Iwan berangkat dulu, Pak," pamitku pada bapak.

Bapak diam saja memandang kepergianku. Setitik rasa sesal sempat mampir di hatiku melihat bapak. Tapi, egoku menang. Aku tinggalkan bapak dan segera terburu-buru berangkat.

[Mas Iwan, bapak tidak ada. Aku sudah mencarinya kemana-mana. Cepat pulang!] Baru juga sampai kantor, Rini adikku sudah terlihat mengirim pesan dan beberapa panggilan tak terjawab terlihat di hpku darinya.

"Kemana lagi, bapak ini?" gumamku.

Tanpa pikir panjang aku segera meminta ijin ke bagian kepegawaian. Aku mau mencari bapak.

Hatiku ngilu, tiba-tiba aku teringat perlakuanku pada bapak tadi pagi. Aku pikir bapak sakit hati jadi memutuskan pergi dari rumah. Tapi kemana?

Dalam kondisi kalut, tiba-tiba satu pikiran terlintas. Bapak ke kantor polisi. Dia pasti mau mengambil sepedanya sendiri.

Segera aku belokkan laju sepeda motorku ke arah kantor polisi. Benar saja, di sana aku melihat bapak.

"Bapak ... !!! Bapak ngapain, di sini?" tanyaku setengah berteriak saat melihat bapak di depan kantor polisi.

"Ayo pulang, Iwan jemput bapak!" sambungku.

"Bapak mau ambil sepeda, Wan," sambil menggeleng, bapak menjawabku.

"Kenapa bapak bersikeras mengambil sepeda itu? Sepeda itu sudah rusak, Pak. Setangnya patah, rodanya sudah tak lagi berbentuk, peleknya bengkok. Sadelnya hilang. Biarkan saja di kantor polisi. Nanti aku belikan yang baru," bujukku dengan sabar.

"Tidak, Wan. Bapak mau sepeda itu. Setidaknya, kalaupun tidak bisa diperbaiki, bapak ingin merawatnya. Sampai nanti, bapak tak mampu lagi melakukannya," jawab bapak sendu.

"Dulu, sepeda itu dibeli dari hasil ibumu menjual cincin pernikahan kami. Sebagian untuk modal usaha, sebagian untuk membeli sepeda," Bapak melanjutkan bercerita.

"Sepeda itu sudah sangat berjasa untuk keluarga kita. Bapak tiap hari keliling menjajakan dagangan juga ditemani sepeda itu," lanjutnya.

"Ibumu meninggal juga karena saat sedang bersepeda diseruduk orang mabuk dari belakang. Setangnya patah, boncengannya patah, rantainya putus. Sepeda itu masih bisa diperbaiki. Tapi, ibumu .... " Bapak tidak melanjutkan ceritanya, matanya menerawang jauh. Ada duka mendalam di sana.

"Cuma sepeda itu kenangan dari ibumu yang masih ada, Wan. Bapak ingin menjaganya selama bapak masih mampu melakukannya. Tolong ambilkan sepeda bapak." setengah memohon suara bapak terdengar di telingaku.

"Ayo kita ambil sepedanya, Pak!" dengan suara bergetar, ku gandeng bapak masuk ke dalam kantor polisi.

Puluhan tahun bapak menyimpan kenangan tentang sepeda itu sendiri. Hari ini aku baru tahu kisahnya. Rasanya aku ingin menangis setelah mendengar kisah itu. Di dalam pikiranku, tiba-tiba terlintas bayangan bapak dan ibu tertawa bahagia berboncengan dengan sepeda hitam kusam itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun