"Pagi-pagi sudah rapi mau kemana, Pak?" tanyaku dengan sedikit terkejut saat keluar rumah untuk berangkat kerja.
"Bapak mau ambil sepeda, Wan. Berangkatnya ikut kamu ya ke kantor polisi. Nanti pulangnya biar bapak naik sepeda," ujar bapak.
"Allohu Akbar ... bapak ngapain masih mikirin sepeda itu? Sudah bagus di kantor polisi saja. Biar tidak usah diambil," tukasku.
"Tapi, Wan. Bapak kangen naik sepeda. Mau cek juga siapa tahu ada yang rusak gara-gara kecelakaan kemarin," lanjut bapak.
"Pak, sepeda bapak itu sudah rusak, pelek depan penyok, bannya juga sudah putus. Setangnya patah. Sudah lah pak, tidak usah diurus lagi besi tua rongsokan itu," jelasku panjang lebar.
"Sudah, bapak nggak usah mikir lagi. Istirahat saja di rumah. Nanti aku belikan sepeda baru untuk bapak. Iwan berangkat dulu, Pak," pamitku pada bapak.
Bapak diam saja memandang kepergianku. Setitik rasa sesal sempat mampir di hatiku melihat bapak. Tapi, egoku menang. Aku tinggalkan bapak dan segera terburu-buru berangkat.
[Mas Iwan, bapak tidak ada. Aku sudah mencarinya kemana-mana. Cepat pulang!] Baru juga sampai kantor, Rini adikku sudah terlihat mengirim pesan dan beberapa panggilan tak terjawab terlihat di hpku darinya.
"Kemana lagi, bapak ini?" gumamku.
Tanpa pikir panjang aku segera meminta ijin ke bagian kepegawaian. Aku mau mencari bapak.
Hatiku ngilu, tiba-tiba aku teringat perlakuanku pada bapak tadi pagi. Aku pikir bapak sakit hati jadi memutuskan pergi dari rumah. Tapi kemana?