"Dibawa pak polisi tadi, Mas," jawab Rini.
Kami terdiam. Rasanya jantungku berdetak tak karuan memikirkan bapak.
"Ya Allah, semoga engkau menjaga bapak kami. Aku belum cukup membalas semua kasih sayangnya. Sembuhkan bapak, ya Allah," doaku dalam diam.
Bapak adalah satu-satunya orang tua yang masih kumiliki. Beliau tidak menikah lagi setelah kepergian ibu dua puluh tahun yang lalu. Beliau merawat aku yang waktu itu berumur 8 tahun dan Rini yang masih berumur 4 tahun, sendiri.
"Bapak tidak sanggup menggantikan posisi ibumu dengan perempuan lain. Biarlah begini saja. Apa kamu ingin punya ibu baru? Bapak kurang apa?" itu jawaban bapak waktu aku iseng bertanya saat aku duduk di bangku SMA.
Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya bapak keluar dari ruang IGD. Alhamdulillah bapak tidak apa-apa. Hanya lecet-lecet di kaki dan lengan kirinya. Tidak perlu dirawat inap, kata dokter.
Setelah menebus obat, aku meminta Rini menemani bapak pulang dengan mobil yang sudah kupesan secara online, sementara aku menaiki motor mengiring di belakang mereka.
Sampai di rumah, bapak langsung menanyakan sepeda bututnya, "Di mana sepedaku, Wan?" tanya bapak.
"Dibawa pak polisi, Pak. Buat barang bukti. Sudah, bapak nggak usah mikirin sepeda dulu. Di sana aman, nggak ada yang mau ngambil sepeda bapak. Besok kalau urusannya sudah beres, aku ambil sepeda bapak," jawabku.
Aku sebenarnya tidak ada niat mengambil sepeda itu. Aku justru bersyukur sepeda itu dibawa pak polisi. Akhirnya rongsokan itu bisa keluar dari rumah ini tanpa aku harus membuangnya.
Seminggu berlalu sejak kecelakaan itu, bapak sudah sehat kembali. Pagi itu, beliau sudah terlihat rapi duduk di kursi teras depan. Seperti mau pergi ke luar.